Nalar – Arkeologi Indoneisia– Babirusa baru terdengar di telinga saya enam tahun lalu ketika masuk di jurusan arkeologi sebagai mahasiswa baru. Saat itu, saya mengetahuinya ketika melakukan kuliah lapangan di kawasan karst Maros-Pangkep. Namun, saya tidak melihatnya berjalan di hutan karst atau sedang bermain dikubangan air, melainkan melihatnya tergambar di diding gua.
Awalnya saya berpikir bahwa babirusa yang tergambar itu hanya hidup di zaman prasejarah, ternyata masih hidup sampai sekarang. Berdasarkam hasil dating, para ahli arkeologi memperkirakan gambar cadas itu sudah ada sejak gelombang pertama periode Homo Sapiens awal. Perkiraan itu berada di Sulawesi yaitu antara 50.000-20.000 tahun lalu. Berarti, jika lukisan cadas hewan ini sudah tergambar puluhan ribu tahun. Menunjukkan kalau babirusa suda hidup dizaman itu bahkan lebih jauh sebelum hasil dating tersebut muncul.
Lukisan Purba Babi Rusa
Penemuan lukisan-lukisan prasejarah seperti lukisan babirusa di gua-gua prasejarah kawasan karst Maros-Pangkep sudah diketahui para arkeolog seperti C.J.H. Fransen, Miss Heeren Palm dan HR. Van Heekeren sejak tahun 1950-an. Beberapa penelitian selanjutnya menemukan gua-gua prasejarah yang bergambar babirusa ditemukan disana. Gambar-gambar tersebut berada di Gua-gua seperti Leang Petta kere, Leang Bara Tedong’nge 1, dan Leang Karampuang 1.
Gambar cadas babirusa juga ditemukan di Kawasan karst Bontocani, Kabupaten Bone. Berada kawasan kars yaitu di Leang Uhalie dan Leang Batti. Penemuan gambar babirusa menggambarkan bukti bahwa keberadaan hewan endemik ini sudah ada sejak puluhan ribu tahun yang lalu.
Malam itu, setiba dirumah kak Basran, saya agak ragu ingin menanyakan secara langsung kenapa saya dipanggil datang kerumahnya. Setelah saya duduk beberapa saat, kak Basran mengambil gelas kopinya lalu diseruput. “mau ji ko ikut?” kata kak Basran bertanya sambil menyimpan gelas kopinya dimeja. “kemana kak?” jawabku sambil tersenyum. “kita mau pergi jalan-jalan sekitar lima sampai tujuh hari. Di daerah Balocci, survei gua-gua yang ada di sekitar sana”, kak Basran menjelaskan lebih lanjut.
Penemuan Leang Tedong’nge
Akhirnya rencana malam itu, terealisasi pada awal November 2017 untuk melakukan survei gua-gua yang berada di kawasan karst Maros-Pangkep. Tepatnya di kecamatan Balocci, kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan. Tim yang berangkat pada saat itu berjumlah enam orang. Dengan posisi tim yaitu kak Basran, kak Pardi, kak Ambu, kak Iyan, kak Bambang dan saya sendiri.
Setelah melakukan perjalan panjang mengelilingi bukit-bukit karst, kami hanya menemukan beberapa temuan seperti tengkorak dan beberapa gerabah. Temuan incaran yang kami cari belum juga muncul didinding gua. Padahal, mata saya selalu fokus kepanel-panel gua setiap memasuki gua ke gua berharap ada gambar yang nampak menyapa. Sayangnya, tiga hari kami melakukan pencarian gambar cadas juga tak membuahkan hasil.
Malam hari kami kembali membuka peta citra yang telah dibuat dengan memperhatikan topografi pada peta. “Sepertinya ini lembah yang dikelilingi gunung karst” kak Basran menunjukkan dipeta. “nah kayak persawahan ini”, kak Pardi memperhatikan peta itu lebih detail. “Kalau sawah, berarti bisa dimasuki”, kak Basran mengungkapkan sambil tersenyum. Kami melakukan perjalan keesokan harinya menuju lembah tersebut.
Babirusa: Lukisan Tertua di Dunia
Perjalanan menguras tenaga, bagaimana tidak kami menyebrangi sungai, mendaki dengan melewati tajamnya batuan kars. Beruntung sepatu lapangan yang saya gunakan masih kuat. Pukul delapan pagi dengan udara yang bersih, matahari mulai muncul dibalik gunung karst. Kami sudah didepan mulut gua Tedong’nge yang menghadap kehamparan sawah.
Ternyata disanalah lukisan prasejarah yang kami cari, gambar babirusa dengan ukuran panjang 136 cm dan tingginya mencapai 54 cm. Lukisan itu menjadi viral sampai sekarang karena menjadi lukisan prasejarah tertua didunia dengan hasil dating (Uranium Series) 45.500 tahun lalu. Sungguh menabjukkan lukisan itu, lukisan prasejarah yang menggambarkan babirusa akan keberadaannya yang masih hidup sampai sekarang.
Hewan endemik Sulawesi
Babirusa dengan nama latin Babyrousa babyrussa Linnaeus merupakan fauna jenis omnivora. Hewan ini mencari makanan buah-buahan, biji-bijian, dedaunan dan bahkan membelah kayu mati untuk mencari larva lebah. Babirusa masuk dalam famili Suidae yang pertama ditemukan di pulau Sulawesi dengan sebutan nama Babyrousa Celebensis.
Pada tahun 1997, BKSDA Maluku mendapat laporan jika tengkorak babirusa juga ditemukan. Hewan endemik ditemukan oleh seorang pemburu lokal di gunung Kapalat Mada, Pulau Buru. Namun, BKSDA Maluku baru menjumpai babirusa secara langsung didaerah ini pada tahun 2021 dengan memasang kamera jebak didalam hutan. Sehingga BKSDA Maluku menambahkan Pulau Buru masuk dalam daftar sebagai habitatnya babirusa, dan beberapa daerah lain seperti Togean dan Sulu.
Bagaimana penemuan babi rusa ?
Jatna Supriatna menjelaskan dalam bukunya berjudul “Melestarikan Alam Indonesia” terbitan 2008. Beliau menyebutkan bahwa sejarah munculnya Babi Rusa sudah ada pada masa Pleistosen. Setidaknya berkisar antara 100.000 sampai dengan 1,5 juta tahun yang lalu. Pada pleistosen akhir, sekitar 18.000 tahun yang lalu permukaan air laut pada daerah tropis turun mencapai 120 meter.
Pada masa ini, banyak ahli memperkirakan bahwa terjadi hubungan “land bridge” antara pulau di Indonesia dan Asia dan Australia. Hal ininlah yang memungkinkan adanya pertemuan fauna khas . Salah satunya babi khas Asia yang telah mencapai pulau Sulawesi melalui Kalimantan. Hewan langkah ini pada akhirnya berevolusi menjadi babirusa sebagai hewan endemik Sulawesi.
Babirusa pertama kali dipopulerkan pada tahun 1658 oleh Gulielmi Pisonis. Dalam bukunya yang berjudul “Indie Utriusque re Natural et Medica Libri Quatuordecim” yang terbit di Amsterdam, Belanda. Sampul buku itu tergambar dua orang memegang tongkat. Tampak ada beberapa gambar hewan, salah satunya hewan yang seukuran dengan anjing. Namun anehnya, anjing itu memiliki taring dibagian bibir yang menjulang keatas dan kakinya menyerupai kaki rusa. Konon, Pisonis menggambarkan hewan itu berdasarkan tengkorak babirusa Sulawesi. Namun banyak orang melihat aneh pada bagian kepala dan menganggap hewan itu hanya ada dinegeri dongeng.
Apa penyebab punahnya hewan endemik ini ?
Babirusa masuk dalam daftar Apendiks I CITES yaitu pelarangan perdagangan. Baik dalam bentuk hidup maupun mati atau bagian-bagian serta produk turunananya. Selain itu, satwa ini juga terdaftar dikonservasi dunia, IUCN (Internasional Union for the Conservation of Nature). Jenis hewan yang terancam punah dengan kategori rentan (Vulnerable/VU).
Di Indonesia, babirusa juga termasuk sebagai jenis hewan yang dilingungi sejak 1993 melalui Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999. Peraturan berisi tentang pengawetan Jenis tumbuhan dan satwa. Kini peraturan itu telah diubah menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.106 tahun 2018. Dalam tetap menegaskan bahwa jenis babirusa dilindungi.
Laporan Balai Besar Taman Nasional Lore Lindu (BBTNLL) 2020 menunjukkan jika babirusa mengalami kepunahan yang sangat drastis. Menurut data BBTNLL melakukan survei dan pengamatan selama lima tahun. Data terakhir dari tahun 2014 berjumlah 221 ekor, hanya tersisa 22 ekor pada tahun 2019. Berbagai faktor yang menyebabkan babirusa mengalami ancaman kepunahan. Ancaman itu melalui perambahan hutan oleh masyarakat, perburuan, perdagangan hewan, pembukaan lahan pertanian skala besar, dan aktivitas pertambangan.
Hutan Nantu, Gorontalo, juga mengalami kasus yang sama. Sebelumnya mendapat ancaman yang lebih parah, terutama karena aktivitas penambangan emas, perburuan, dan perdagangan hewan.
Dikutip dari Mongabay.com, Lynn Clayton seorang doktor konservator yang telah mengikuti perkembangan babirusa selama 30 tahun. Pengamatannya dimulai sejak 1988 hingga kini. Menurut pengakuannya, berbagai upaya yang dilakukan untuk melindungi babirusa dari ancaman manusia yang tidak bertanggung jawab. Sehingga hutan Nantu salah satu hutan yang masih memberi kehidupan bagi babirusa di Sulawesi.