NALAR – Arkeologi Indonesia – Pulau Buton merupakan salah satu pulau yang secara administratif masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada masa lampau, berdiri sebuah kerajaan yang dinamakan Kesultanan Buton di wilayah ini. Pulau Buton terletak antara Kerajaan Makassar dan Pulau Buru di Timur. Wilayah ini juga berada dalam jalur pelayaran. Letaknya yang srategis membuat Pulau Buton selalu ramai dikunjungi terutama oleh para pedagang dari kawasan barat Nusantara.
Jalur Rempah di Kesultanan Buton
Para pelaut di masa lampau telah mengenal pulau ini dengan baik. Para penjelajah yang melintasi pelayaran rempah dunia akan singgah untuk mengisi perbekalan air. Sudah suatu kewajiban bagi mereka untuk transit di wilayah ini. Para pelaut dari East India Company menganggap air di Buton jauh lebih baik daripada air di wilayah lain seperti di Banten.
Memang, para sejarawan menuliskan bahwa Buton merupakan pelabuhan transit atau persinggahan pada era kejayaan komoditi rempah-rempah. Penjelajah Tomi Pires dalam catatannya menjelaskan bahwa Buton berfungsi sebagai pelabuhan singgah. Buton menjadi penghubung bagi para pelaut dari Asia dan Nusantara yang akan berdagang di Kepulauan Maluku.1
Meskipun hanya dianggap pelabuhan transit, nyatanya Buton tetap menawarkan komoditas lain yang berkualitas. Salah satunya ialah komoditi mutiara yang dipanen di laut lepas Buton. Orang-orangnya dikenal sebagai pelaut handal yang dapat memanen mutiara-mutiara tersebut.
Selain itu, mereka juga menghasilkan komoditi lain seperti teripang. Komoditas ini sangat diminati oleh penduduk di daratan China. Mereka menggunakan teripang sebagai obat berbagai penyakit. Salah satu data yang menjadi petunjuk ialah catatan perdagangan Kerajaan Makassar. Pada tahun 1717 – 1718, Makassar mendapat teripang sebanyak 7 pikul dari Buton dan Sumbawa.
Meski kaya akan hasil laut, kondisi tanah di wilayah Kesultanan Buton cenderung kurang subur. Berbeda dengan Kepulauan Maluku yang dikenal sebagai surga rempah-rempah. Jenis tanaman yang tumbuh hanya tanaman pokok, seperti jagung dan umbi-umbian. Hal ini menyebabkan komoditas berupa hasil bumi hampir tidak ada. Namun, Buton tetap memiliki satu komoditas yang sangat menarik, yakni perdagangan budak.
Budak, Komoditas Utama Kesultanan Buton
Perdagangan budak dianggap sebagai salah satu jenis komoditi paling awal di dunia. Perdagangan ini tentunya memiliki keuntungan yang sangat besar. Dalam sejarah budaya melayu, budak merupakan tingkatan sosial paling bawah dan bertugas melayani para tuannya.
Pemerintahan kolonial membutuhkan tenaga yang cukup banyak untuk meluluskan proyek mercusuar mereka. Untuk itu, mereka membutuhkan budak dari berbagai tempat demi meminimalkan biaya pembangunan. Salah satu tempat yang sering menjadi lokasi perdaganagn budak ialah Kesultanan Buton pasca keruntuhan Kerajaan Gowa Tallo.
“Makassar merupakan pelabuhan transit utama para budak dari Kalimantan, Sulawesi, Buton (Butung), dan pulau-pulau di timur laut. Serta kepulauan tenggara bagian timur (Lombok, Sumbawa, Bima, Manggarai, dan Solor).” – Markus Vink, 2003
Cerita tentang komoditas budak di Buton juga dituliskan oleh Heather Sutherland. Setelah Makassar dikuasai oleh VOC, perdagangan budak menjadi komoditas yang paling laku di pasaran. Heather mengemukakan bahwa hingga 1686, seorang Nahkoda kapal sering berlayar setiap tahun menuju Buton untuk menukarkan barang dagangan dengan budak.
Benteng Keraton Wolio di Buton
Meskipun berabad-abad telah berlalu sejak masa kejayaan Kesultanan Buton, jejak-jejak sejarahnya tetap hidup. Peninggalan Kesultanan Buton di masa lalu berupa Benteng Keraton di Wolio. Pada tahun 2006, benteng ini telah dinobatkan sebagai benteng terluas di dunia oleh Museum Rekor Indonesia dan Guiness Book Record.
Panjang keliling Benteng Keraton Buton adalah tiga kilometer dengan tinggi rata-rata empat meter dan tebal dua meter. Sedangkan, luas seluruh lokasi benteng meliputi 40.911 meter persegi. Benteng berbentuk huruf ‘dhal’ dalam aksara Arab ini dibangun dari batu kapur dan pasir. Bentuknya sangat berbeda dengan benteng-benteng pada umumnya di Nusantara.
Benteng megah ini berada di puncak bukit dan menghadap langsung ke lautan lepas. Benteng ini dibangun di ketinggian dengan tujuan untuk melihat pergerakan kapal yang melintasi perairan Buton. Baik yang akan meninggalkan pelabuhan Buton maupun yang akan bersandar. Benteng ini juga dibangun untuk melindungi pusat kota Buton. Puluhan meriam diarahkan ke arah laut maupun lembah yang bersiap menembaki musuh yang datang.
* * *
Keberadaan Benteng Wolio sendiri menjadi saksi kejayaan Kesultanan Buton. Kurang lebih empat abad lamanya, kesultanan ini berjaya. Benteng ini memegang peranan penting dalam kurun waktu tersebut. Buton berjaya bukan karena pertaniannya yang memadai, tetapi karena dunia maritimnya. Mereka memanfaatkan posisi dan lingkungannya untuk memenuhi perekonomiannya.
- Al Mujabuddawat, M. (2016). Kejayaan Kesultanan Buton Abad Ke-17 & 18 dalam Tinjauan Arkeologi Ekologi. Kapata Arkeologi, 11(1), 21-32. ↩︎