NALAR – Arkeologi Indonesia, Belakangan ini beberapa daerah di Indonesia, khususnya sumatera ramai diguyur hujan. Kerap kali pesan dari BMKG mengenai informasi cuaca, masuk di platform orang-orang. Namun tak perlulah kita membahas perihal tersebut. Mari sejenak melihat kondisi setelah hujan redah.
Pasca hujan, biasanya muncul pelangi. Seperti biasanya, orang-orang takjub akan hal itu. Bahkan tak jarang mereka akan langsung mengabadikannya lewat smartphone yang dimiliki. Layaknya pelangi, kehidupan saat ini juga nampak demikian. Keragaman budaya di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, bahasa, adat istiadat, dan mata pencaharian menjadi buktinya.
Akan tetapi, kondisi tersebut tidak hadir begitu saja. Jauh sebelum itu tepatnya pada ribuan tahun silam, keragaman tersebut juga telah hadir. Paling banter, itu dapat disaksikan di Pulau Sumatera.Budaya
Melansir dari okezone.com, pulau yang terletak di bagian barat Indonesia ini merupakan salah satu pulau terbesar keenam di dunia. Wiradnyana menuliskan sejarah terbentuknya Pulau Sumatera dalam”Ruang Jelajah Hoabinhian Di Pulau Sumatera“. Ia menyebutkan bahwa dahulu pulau ini menyatu dengan Semenanjung Malaysia atau biasa disebut Paparan Sunda. Selain itu, adanya aliran sungai besar menjadi variabel utama yang memungkinkan terjadinya migrasi ke pulau tersebut.
Adapun dua budaya yang mengisi bingkai keragaman tersebut ialah Budaya Hoabinh dan Budaya Austronesia. Budaya Hoabinh menurut Belwood dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaya menyebutkan budaya ini berakar Vietnam bagian utara. Kemudian menyebar ke Cina Selatan, Taiwan, Indonesia, serta berbagai negara di Asia Tenggara Kepulauan.
Budaya Hoabinh dan Austronesia
Mattews (1964) juga menuliskan salah satu karya yang berjudul “The Hoabinh In South East Asia dan Elsewhere“. Ia menyebutkan bahwa Budaya Hoabinh identik dengan teknologi alat batu yang dipangkas pada satu sisi maupun dua sisi. Memiliki praktek penguburan yang terlipat serta produk lainnya berupa alat serpih, pelandas, dan mortar.
Sementara penutur Austronesia dikenal dengan bangsa yang sering berkelana. Mereka berpindah dari satu pulau ke pulau lainnya, tulis Belwood didalam “First Islanders: Prehistory Human Migration In Island Southeast Asia”. Lebih lanjut, menurut Utomo (2007), persebarannya telah sampai di beberapa wilayah. Misalnya Taiwan di bagian utara, Selandia Baru di bagian Selatan, Madagaskar di bagian barat, dan pulau Paskah di bagian timur.
Tak ketinggalan, Indonesia pun menjadi salah satu objek yang dituju. Data terbaru menunjukkan bahwa Sulawesi, Sumatera, dan beberapa pulau lainnya pernah dijajal oleh Penutur Austronesia. Jelas Simanjuntak dalam tulisannya “Austronesian in Sulawesi: Its Origin, Diaspora, and Living Tradition“. Bukan hanya itu, menurut (Wiradnyana, 2012), produk yang identik dengan budaya tersebut ialah alat batu yang diupam. Mereka juga melakukan kegiatan pertanian, dan memelihara hewan ternak.
Wiradnyana berpendapat bahwa ada indikasi pembauran budaya antara budaya Hoabinh dan Austronesia di pulau Sumatera bagian utara. Mereka hidup berdampingan satu sama lain. Hal ini didasarkan pada penemuan arkeologis, seperti temuan alat-alat batu dan keramik yang menunjukkan pengaruh budaya Hoabinh dan Austronesia.
Berdasarkan konsep evolusi budaya, terlihat adanya ciri dari kedua budaya di beberapa lokasi yang sama di Pulau Sumatera. Baik itu yang berada di daerah pesisir maupun di wilayah dataran tinggi. Oleh karena itu, kecenderungan yang diperoleh menunjukkan bahwa di fase yang lebih tua merupakan Budaya Hoabinh. Sedangkan di fase yang lebih mudah merupakan Budaya Austronesia. Meskipun, ada beberapa fenomena yang menunjukkan dua budaya tersebut berada di kronologi yang sama.
Berlanjutnya Budaya Hoabinh dan Austronesia di Sumatera
Selain menempati lokasi hunian yang sama, terlihat adanya keberlanjutan dalam aspek religi. Budaya Hoabinh yang terkenal dengan metode penguburan yang terlipat, juga ditemukan di fase yang sama dengan Budaya Austronesia. Begitupun dengan peralatan yang dibuat, terlihat adanya sedikit kemiripan, cuman yang membedakan ialah teknik pengerjaan.
Tidak berhenti sampai disitu, dalam rangka pemenuhan makanan, manusia pendukung Budaya Hoabinh memiliki pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bertugas untuk berburu dan mencari makan, sedangkan perempuan memelihara anak dan mengolah hasil buruan. Akan tetapi, bentuk pembagian tersebut lambat laun mengalami perubahan. Mendekati fase yang lebih muda, kaum wanita juga bertugas mengumpulkan bahan makanan di lingkungan sekitar. Bahkan mereka ikut bercocok tanam akibat dari hasil buruan yang kadang tak menentu.
Bukti yang menguatkan ialah ditemukannya beberapa bahan makanan seperti polong-polongan di akhir fase Budaya Hoabinh. Setelah memasuki fase awal Budaya Austronesia, sumber makanan yang diproduksi nampak lebih variatif. Terdiri dari kacang-kacangan, kopi-kopian, dan lain sebagainya.
Begitupun dengan perilaku memelihara ternak, kronologi yang didapatkan menunjukkan berada di fase yang lebih tua (Budaya Hoabinh). Kuat dugaan, kegiatan tersebut terus berlanjut di fase yang lebih muda (Budaya Austronesia).
Oleh karena itu, dari data-data yang didapatkan menunjukkan bahwa Pulau Sumatera dahulu dihuni oleh dua budaya. Kedua budaya ini memiliki ciri dan produk budaya yang berbeda. Namun dari perbedaan tersebut memungkinkan adanya perpaduan sekaligus menampilkan keragaman serta keindahan layaknya “pelangi” yang tampak elok dipandang.