Ramadan telah tiba! Marhaban Yaa Ramadan!!
Nalar – Arkeologi Indonesia – Ramadan merupakan bulan suci yang momentumnya selalu dinantikan oleh umat Islam. Selain sebagai bulan penuh pengampunan, Ramadan menjadi ladang pahala bagi kaum muslim. Untuk memanen pahala tersebut, kaum muslim berlomba-lomba melaksanakan ibadah mulai dari yang wajib hingga berbagai amalan sunnah.
Salah satu amalan yang identik dengan bulan suci Ramadan ialah salat tarawih. Pada malam hari, kaum muslim berbondong-bondong mendatangi masjid untuk melaksanakan salat isya yang dirangkaikan dengan salat tarawih secara berjamaah. Pemandangan yang sangat khidmat ketika melihat kaum perempuan lengkap dengan mukenanya, dan kaum laki-laki lengkap dengan sarung serta songkoknya.
Keistimewaan Songkok Recca

Berbicara tentang songkok, atribut ibadah satu ini menjadi incaran ketika bulan suci akan datang khususnya di Indonesia. Sebab, ibadah terasa kurang lengkap tanpa mengenakan songkok. Maka tak heran jika songkok menjadi salah satu produk utama yang ramai diperdagangkan di berbagai tempat. Seperti di pasar tradisional, toko-toko, bahkan di toko online. Jenis-jenis songkok yang dijual juga bervariasi, mulai dari songkok tradisional hingga songkok modern.
Salah satu songkok tradisional yang terkenal adalah Songkok Recca. Melalui kegiatan Apresiasi Penetapan Warisan Budaya Tak Benda Indonesia tahun 2018, songkok ini diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Kegiatan penetapan tersebut dilaksanakan pada 11 Oktober 2018 di Gedung Kesenian Jakarta.
Sebelum ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda, Songkok Recca memiliki catatan sejarah yang panjang dalam berbagai versi.
Pada masa ekspansi Kerajaan Bone ke Tator tahun 1683 M. Terdapat kesamaan antara pasukan Bugis Bone dan pasukan Tator yang sama-sama memakai sarung. Arung Palakka kemudian memerintahkan penggunaan simbol untuk membedakan prajuritnya dan musuh. Akhirnya, dipilihlah Songkok Recca menjadi simbol pembeda.
Simbol Kebangsawanan
Awalnya, Songkok Recca merupakan atribut yang diperuntukkan bagi raja dan bangsawan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Nisbah (dalam Yusriadi 2019), terdapat aturan dalam penggunaan songkok ini. Kelas sosial bangsawan atau yang berdarah biru, bahan dasarnya harus terbuat dari emas murni.
Golongan bangsawan lainnya boleh menggunakan songkok ini dengan lebar emas kurang dari 3/5 tinggi songkok. Selanjutnya, golongan tertentu dapat memakai songkok dengan lebar tidak lebih dari 1/2 tinggi Songkok. Sedangkan, kelompok lain yang bukan budak diperbolehkan memakainya dengan pinggiran emas. Adapun bagi kelompok budak, mereka sama sekali tidak diperbolehkan menggunakan songkok.
Namun, norma atau aturan adat yang mengatur tentang penggunaannya tersebut mulai luntur seiring berjalannya waktu. Pada akhirnya, pengguna songkok tersebut menjamur di semua kalangan tanpa memandang jabatan pemakainya lagi. Namun, hal tersebut tidak mengurangi keistimewaannya karena pemakainya tetap terlihat berkarisma ketika mengenakan Songkok Recca.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, songkok ini dibuat dengan menggunakan bahan emas. Meskipun demikian, bahan dasarnya tidaklah terlalu spesial. Beberapa bahan dasar dan pewarnanya lazim dijumpai di Tanah Bugis. Pelepah daun lontar yang diolah sedemikian rupa akan menghasilkan serat. Serat ini biasanya berwarna putih, tetapi setelah dua atau tiga jam warnanya berubah menjadi kecoklatan.
Lantas, apa yang membuat Songkok Recca menjadi sesuatu yang spesial?
Songkok ini menjadi spesial ketika dipakai oleh tokoh penting. Misalnya, para pejabat, negarawan, hingga konglomerat. Saat ini, Songkok Recca dipersembahkan kepada pejabat negara, menteri, dan bahkan tamu asing yang berkunjung ke Provinsi Sulawesi Selatan.
Pergeseran maknanya tidak terlepas dari pergeseran peradaban yang telah terjadi. Berakhirnya peradaban suatu bangsa akan tergantikan oleh peradaban baru. Sama halnya dengan Kerajaan Bone yang digantikan oleh Kabupaten Bone. Sentuhan peradaban modern dan status sosial menggeser pemaknaan terhadap Songkok Recca. Bahkan, songkok ini telah menjadi identitas orang Bugis pada umumnya.
Perubahan yang terjadi di dalam masyarakat memang merupakan perubahan yang biasa. Pengaruh perubahan tersebut sangat cepat ke dalam kehidupan masyarakat. Selain itu, perubahan budaya dalam penggunaannya juga mengacu pada suatu gagasan. Gagasan tersebut bertujuan untuk kemajuan sosial dan juga evolusi sosial dan budaya. Dalam hal ini perubahan budaya Songkok Recca sudah pasti terjadi. Apakah pemaknaan Songkok Recca akan berbeda di masa depan? Hanya waktu yang dapat menjawabnya.
Referensi
Ariandi & Jufri (2022) Eksistensi Songkok Recca dalam Peradaban Masyarakat Bone. CARITA : Jurnal Sejarah dan Budaya
Yusriadi, dkk (2019). Community Perception in the Use of “Songkok Recca” Hats based on Social Stratification. Anthropos: Jurnal Antropologi Sosial dan Budaya (Journal of Social and Cultural Anthropology).