Sejarah Pembangunan Jalan Poros Maros Bone

Related Articles

Nalar, Nationalarchaeology.com – Era kolonialisme merupakan salah satu babak yang cukup panjang dalam sejarah Indonesia. Terutama saat pendudukan Belanda yang berlangsung cukup lama. Beberapa infrastuktur kemudian menjadi peninggalan kolonial Belanda. Salah satunya adalah jaringan jalan yang hingga kini masih digunakan.  Seperti dalam masa mudik lebaran untuk menyambut Idul Fitri.

Pembangunan jalan poros di Nusantara dimulai pada saat pendudukan Belanda.  Potensi serangan oleh Inggris kemudian mendorong Daendels untuk membangun jaringan jalan. Jaringan jalan sepanjang 1000 km dari Anyer ke Panurukan. Pembangunan jaringan jalan ini tercatat dilaksanakan dari tahun 1808 hingga 1810.

Pembangunan jalan poros Makassar-Bone pada Era Kolonialisme

Menggagas Jaringan Jalan di Sulawesi

Seiring dengan waktu, berkembang pula pulau pulau di Luar Jawa. Tak terkecuali kota kota yang terdapat di Pulau Sulawesi bagian Selatan.  Kota kota besar pada masa itu seperti Ujung Pandang, Pare-pare, Bantaeng, Palopo dan Watampone. Hal itu kemudian yang mendorong pihak Belanda untuk menghubungkan kota kota tersebut. Berbagai infrastruktur kemudian dibangun untuk mewujudkan harapan tersebut. Salah satu ialah jaringan jalan untuk menghubungkan kota kota tersebut.

Pusat perhatian dari pemerintahan kolonial ialah menghubungkan Kota Makassar sebagai kota terbesar dengan kota kota lainnya. Salah satunya menghubungkan Kota Makassar dengan Kota Watampone. Beberapa catatan dari pemerintahan kolonial menyebutkan bahwa akses dari kota Makassar menuju Bone tergolong jauh yakni kurang lebih 300 km. Perjalanan menuju Watampone melewati wilayah pesisir yang memutar. Mulai dari wilayah Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai sebelum memasuki wilayah Watampone.

Selain faktor untuk memudahkan koneksi antar kota, terdapat beberapa pertimbangan dalam pembangunan jaringan jalan ini. Kepentingan administrasi dan politik tak lupa menjadi pertimbangan. Pembangunan ini juga diharapkan memudahkan perpindahan penduduk dan komoditas.  Kepentingan untuk mengupayakan agar penduduk untuk bermigrasi kembali ke wilayah Camba yang telah ditinggalkan akibat keamanan dan maraknya pencurian. Hal itu kemudian akan membuat wilayah disekitar Camba tergarap kembali.

Jalur pembangunan jalan poros Maros-Bone

Pembangun Jalan Maros – Bone tahun 1918

Hal tersebut mendorong pemerintah kolonial untuk memperpendek jarak tersebut. Maka direncanakan pembangunan jalan dari wilayah Maros untuk tembus ke wilayah Watampone. Pembangunan jalan poros ini kemudian mempersingkat jarak tempuh hingga 120 km. Sehingga jarak yang ditempuh hanya sekitar 180 km saja.  Namun, pembangunan jalan tersebut tentu tidak mudah. Jaringan jalan tersebut berkelok kelok di bukit-bukit dan tebing.

Pembangunan jalan poros ini dimulai dari tahun 1918 dan selesai pada tahun 1928. Hal ini terlihat sesuai dengan peta topografi Belanda yang terbit tahun 1928. Dimana terdapat verhade weg atau jalan aspal. Jalan ini terbentang dari Bantimoeroeng, Semanggi, Patoenoeang Asoe, Pangea, Kappang, Bengo, Malaka, kemudian di wilayah Tatjipi berbelok ke arah timur hingga terus ke Watampone.

Jaringan jalan ini direncanakan memiliki lebar lima meter. Pembangunan kemudian dimulai lewat dua arah secara bersamaan yakni dari wilayah Maros dan Bone dan diharapkan bertemu di daerah Camba. Pembangunan jalan ini juga disertai dengan infrastruktur tambahan berupa dua buah jembatan yang melintang di atas Sungai Wallanae dan Mallawa.

Batu Goro’e Sumpang Labbu

Salah satu tinggalan arkeologis yang penting ialah Batu Goro’e di Sumpang Labbu. Sumpang Labbu sendiri merupakan suatu terowongan di bawah tebing.  Terowongan ini masih berbentuk seperti sedia kala.

Terowongan Sumpang Labbu, Poros Maros-Bone

Dalam pembangunan jaringan jalan ini, para buruh mengalami tantangan akibat tebing yang menjulang. Karena tidak memungkinkan, maka cara satu satu untuk melewati tebing tersebut ialah dengan membuat terowongan di bawahnya. Belum diketahui bagaimana terowongan ini dibangun. Namun, asumsi yang beredar di masyarakat setempat yakni dengan cara dipahat.

Pembangunan jalan ini juga diberitakan Surat Kabar De Lokomotief yang terbit 5 Oktober 1928.  Berdasarkan terbitan tersebut, diketahui bahwa pembangunan jalan ini memakan banyak biaya. Imbasnya, pembangunan sempat dihentikan oleh para buruh. Hal ini tentunya berbeda dengan cerita-cerita yang beredar di masyarakat. Bahwa pembangunan jaringan jalan ini menggunakan metode kerja paksa.

Namun hal ini mesti didiskusikan lebih lanjut, karena belum didapatkan bukti bukti yang lebih konkrit mendukung hal tersebut

More on this topic

Comments

Advertisment

Popular stories