NALAR-Natonal Archaeology – Arkeologi Indonesia, Kuda nampaknya menjadi pengingat bagi orang-orang kelahiran tahun 1980-2000an. Lagu Naik Delman karya Ibu Sud menjadi salah satu lagu favorit di masa kecil. Lagu yang bercerita tentang perjalanan seorang bocah bersama ayahnya berwisata ke kota di hari minggu. Dengan riang, kita menyanyikan Tuk-tik-tak-tik, tuk-tik-tak-tik, meniru suara langkah kuda yang menatap aspal. Tak hanya menjadi sebuah inspirasi lagu, namun menjadi suatu hewan yang dekat dengan kebudayaan kita. Mulai dari berbagai tradisi hingga menjadi sebuah mahakarya seperti patung kuda.
Memang masa itu, Hewan tersebut menjadi salah satu andalan bagi masyarakat Indonesia. Dimasa kecil saya, saya masih menyaksikan bagaimana para petani memperlakukan mereka layaknya sebagai satu anggota keluarga. Ia sangat dibutuhkan ketika masa panen tiba. Jalanan yang belum sepenuhnya beraspal akan disesaki oleh para kuda yang berlalu lalang. Mereka akan bekerja keras mengangkut hasil panen padi dari sawah ke rumah petani. Ada dua karung padi yang dipikul oleh mereka. Setiap karungnya, berat padi akan mencapai 100 kg lebih. Para kuda akan berbaris rapih mengikuti arahan dari pemiliknya. Peran kuda tak hanya membantu masyarakat dalam kesehariannya. Namun, kuda memiliki berbagai peran lain bagi beberapa masyarakat.
Ada banyak sudut pandang memandang hewan ini, Beda kelompok masyarakat, beda pula cara memandang kuda. Bagi saya yang masyarakat desa misalnya, bakal memandangnya sebagai sumber tenaga. Sedangkan bagi para masyarakat kota, melihat sebuah fenomena langka.
Kuda Sebagai Inspirasi Seni
Kuda telah menjadi salah satu objek inspirasi para seniman. Sosok hewan ini telah mengilhami manusia-manusia prasejarah di berbagai belahan dunia. Misalnya, Gua Lascaux di Prancis menyimpan puluhan lukisan kuda. Usia lukisan tersebut ditaksir oleh ilmuwan berkisar 18.000 tahun yang lalu1.
Gambar tersebut di masa prasejarah tidak hanya dijumpai di benua biru saja. Namun di kepulauan Nusantara juga mempunyai gambar yang serupa. Sebut saja di gua-gua yang berada di Pulau Muna2 yang sezaman dengan gambar di Eropa. Mereka telah mampu mengambarkan kuda ke objek dua dimensi pada dinding-dinding gua sebagai penganti kanvas.Â
Tapi mengapa kuda menjadi pilihan untuk digambar di masa lampau? Lukisan-lukisan gua mungkin sebagai cara manusia untuk merekam kehidupan manusia masa lampau. Sama yang kita lakukan hari ini dengan lensa-lensa handphone kita. Beberapa anggapan diungkapkan oleh berbagai peneliti tentang apa arti dari sebuah gambar kuda. Mereka berasumsi bahwa gambar-gambar tersebut merupakan sebuah simbol-simbol religi. Dimasa lampau dikenal sebagai binatang yang sakral.
Patung-Patung Kuda di Simpang Jalan
Seiring berkembangnya zaman, kuda tidak hanya menjadi gambar semata. Oleh para seniman, sosok hewan ini kerap kali dijadikan seni tiga dimensi. Di Indonesia, karya patung-patung kuda berkembang secara cepat pasca kemerdekaan. Sangat mudah menjumpai mereka di simpang-simpang jalan saat ini. Kalaupun bukan di simpang jalan, cari saja di depan bangunan-bangunan megah.
Hewan ini kerap kali dipahat dengan penggambaran yang kokoh dan kuat. Beberapa bahkan sangat detail menggambarkan bentuk tubuhnya. Pahatan pada lekukan pahanya terkadang menonjolkan urat-urat yang membuatnya semakin elegan.Â
Bentuk pahatan ini biasanya dibuat bersama patung-patung para pahlawan. Tapi tahukah anda? Bahwa ada aturan tak tertulis bagi pemahat patung sejenis ini. Meskipun tidak semua pemahat melakukan hal ini. Pahlawan yang digambarkan menunggangi kuda perangnya yang dua kaki depan terangkat berarti bahwa sang pahlawan gugur di medan peperangan. Ketika hanya satu kaki yang menapak di tanah, ini berarti sang penunggang meninggal akibat luka perang. Lewat patung yang diam, para pemahatnya mencoba memberikan suatu simbol atau pesan kemerdekaan bagi khalayak.
Patung Kuda dan Tunggangan Masyarakat Kelas Atas
Ketika saya coba menikmati macetnya jalanan, saya tiba-tiba tersadar satu hal. Jumlah patung kuda ternyata jauh meningkat dari 20 tahun yang lalu. Dan itu merupakan suatu fenomena yang cukup meledak beberapa tahun terakhir. Awal tahun 2000an, jumlah titik patung bisa dihitung hanya satu titik saja di setiap kota.
Ledakan tersebut nampaknya berusaha menjadikan patung satu penanda sosial yang sangat jelas. Deretan patung-patung kuda nampaknya menjadi salah satu ciri khas suatu kawasan kelas menengah atas. Bahkan tak jarang, menjadi batas yang bisa diakses oleh masyarakat umum. Setelah lewat beberapa meter, sebuah pintu gerbang akan menyambut, gerbang yang menandakan kawasan eksklusif.
Namun mengapa patung kuda dipilih menjadi sebuah pembatas wilayah? Ada beberapa alasan yang mungkin menjadi alasan kuat. Bagi beberapa masyarakat, acap kali dipandang sebagai simbol kekuatan, keanggunan, dan kemakmuran. Oleh karena itu, kehadirannya menjadi simbol status sosial dan kemewahan. Tak banyak orang yang mampu mempunyai kehidupan yang seperti itu.
Kehadiran patung-patung tersebut lebih kurang menggambarkan sebuah cerita dibalik gerbang. Ada kehidupan yang mewah yang dihasilkan dari sebuah usaha dan kesuksesan. Beberapa dari kita mungkin memandangnya sebagai sesuatu yang berlebihan. Sementara yang lain mungkin punya sudut pandang yang berbeda. Ada yang mungkin menganggapnya sebagai dorongan untuk mencapai hal yang serupa.
Peran Kuda di Masa Modern
Dimasa kini, kuda telah menjadi binatang yang cukup sukar di jumpai. Bahkan di desa-pun hanya sedikit pula yang memelihara. Meskipun ada beberapa daerah yang masih menjadi sentra seperti di Jeneponto, Sulawesi Selatan. Daerah tersebut menjadi salah satu sentra kuliner di masa modern.
Namun, apakah binatang ini telah ditinggalkan sepenuhnya selain menjadi makanan semata? Tidak, hal tersebut masih memainkan peranan penting bagi kehidupan sosial manusia. Ia masih menjadi hiburan bagi masyarakat kelas atas. Diberbagai cabang olahraga elit, menjadi salah satu pemain utama. Sebut saja balapan kuda, polo, atau equistrian3. Ketiga cabang olahraga tersebut bukanlah cabang olahraga yang murah.
Kehadirannya masih memainkan peran penting dalam kegiatan olahraga dan rekreasi. Balapan kuda, polo, dan berbagai bentuk equestrianisme tetap menjadi hiburan yang populer. Namun, fungsinya lebih bersifat hobi dan kegiatan olahraga daripada alat produktif dalam kehidupan sehari-hari.
REF
1. Genty, D., Konik, S., Valladas, H., Blamart, D., Hellstrom, J., Touma, M., … & Weil, R. (2011). Dating the Lascaux cave gour formation. Radiocarbon, 53(3), 479-500.
2. Oktaviana, A. A. (2016). Eksistensi gambar tangan negatif pada gambar cadas di Kawasan karst Pulau Muna, Sulawesi Tenggara. Jejak Austronesia di Indonesia, 96-120.
3. Komite Olimpiade Indonesia (Tanpa Tahun) Berkuda