Kisah Tragis Dibalik Destinasi Wisata Sawahlunto

Related Articles

Nalar, Nationalarchaeology.com – Sawahlunto salah satu kota yang terletak di Provinsi Sumatera Barat, berjarak sekitar 95 kilometer timur laut Kota Padang. Sawahlunto berada diantara tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Solok, dan Kabupaten Sijunjung. Nama Sawahlunto diambil dari kata “sawah” dan sungai “lunto.” Sawahlunto memiliki lembah subur yang dijadikan persawahan oleh warga setempat yang berbudaya minang.

Kota ini memiliki banyak destinasi wisata seperti Perbukitan Cadas, Danau Kandih, Danau Biru, Kota Tua dan Hotel Ombilin, Terowongan “Lubang Mbah Soero”, Museum Kereta Api Sawahlunto, dan masih banyak tempat wisata lainnya.

Sawahlunto dulunya dikenal sebagai kota tambang, sebelum menjadi tempat wisata. Destinasi wisata ini memiliki kisah tentang manusia pribumi yang dijadikan sebagai budak oleh pemerintahan Kolonial Belanda.

Kisah Balik Wisata Sawahlunto pada masa Kolonial

Pada tahun 1868, seorang insinyur pertambangan Belanda (Willem Hendrik de Greve) menemukan adanya potensi besar kandungan batubara di Sungai Ombilin, salah satu sungai di Sawahlunto. Tahun 1871, De Greve membuka cerita lahirnya Ombilin sebagai kota tambang pertama di Indonesia, lewat bukunya yang ditulis Bersama WA Henny. Namun, perjalanan De Greve berakhir pada kunjungan keduanya pada tahun 1872 yang terseret arus Sungai Batang Kuantan. Tidak berhenti disitu, perjalanan De Greve kemudian dilanjutkan oleh Dr. Jan Willem Ijzerman yang merupakan seseorang yang merintis Technische Hogeshool yang kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB).

Penggalian dan Perbudakan

Penggalian pertama dilakukan pada tahun 1890 oleh ribuan orang yang dirantai (orang-orang terpidana yang terus-menerus dirantai kakinya) dan kuli kontrak. Narapidana tersebut didatangkan dari penjara-penjara yang ada di Pulau Jawa, Sulawesi, dan Medan (Sumatera Utara). Para narapidana ini diangkut menggunakan kapal laut dari Pelabuhan Tanjung Perak kemudian diturunkan di Teluk Bayur. Mereka kemudian dibawa menggunakan kereta api ke pusat pertambangan Sawahlunto. Narapidana tersebut dinilai pemerintah Kolonial Belanda sebagai pembangkang, Sebagian dari mereka adalah tawanan politik belanda, kriminal, penjahat atau yang dianggap penjahat. Namun ada pula yang mengatakan bahwa mereka bukanlah penjahat melainkan orang-orang yang memperjuangkan tanah nenek moyang mereka.

Penyikasaan Selama Penggalian Terowongan

Para pekerja melubangi tanah yang berupa batu karang dengan alat sederhana seperti kapak belincung. Kecuali mandor dan pengawas, mereka bertelanjang kaki, membuat terowongan, menggerus batubara dengan alat seadanya, kemudian mengambil batubara yang diangkut dengan rel berjalan keatas. Para pekerja menjalankan tugasnya secara bergiliran, makanan dan minuman yang telah diolah di Goedang Ransoem kemudian diantar kepada para pekerja dan dikonsumsi di dalam lubang.

Setelah bekerja mereka akan dibawa Kembali ke tahanan dengan kaki dan tangan di rantai, para pekerja ini menempati ruang bawah tanah dimana dinding dalam dan luarnya ditancapkan pecahan kaca sehingga mereka tidak bisa bersandar. Makanan yang diberikan pun terbatas, siksaan berupa cambukan seringkali mereka terima dari mandor. Oleh karena itu, banyak orang rantai yang meninggal selama berlangsungnya kerja paksa ini.

Selama masa pertambangan, batubara tersebut diangkut ke Pelabuhan Teluk Bayur, Padang, dengan kereta api uap. Setelah bertahun-tahun dilakukan penggalian, sampai pada tahun 1938 Belanda menutup pertambangan tersebut. Setelah kemerdekaan, tempat ini diambil alih oleh PT Bukit Asam Ombilin yang beroperasi sampai tahun 2002. Kereta api yang digunakan mengangkut batubara tidak lagi dipergunakan, kini telah di museumkan. Pada tahun 2019, Pertambangan Batubara Ombilin Sawahlunto menjadi Warisan Dunia kategori budaya yang ditetapkan UNESCO di Azerbaijan.

Temuan Tulang Belulang Manusia di Sawahlunto

Banyaknya pekerja paksa yang meninggal menjadi bukti kejamnya perlakuan pemerintahan Kolonial Belanda pada masa itu. Pada tahun 2007 tambang tersebut Kembali dibuka dan ditemukan banyak tulang belulang manusia. Selain itu, selama pertambangan identitas pekerja dihilangkan dan diubah dengan nomor yang di cap pada tangan sehingga sampai saat ini keluarga atau kerabat yang datang untuk mencari makam leluhur mereka di tanah Sawahlunto tidak bisa menemukannya karena di tempat-tempat pemakaman narapidana yang mati hanya tertulis angka.

Objek wisata yang ada di Sawahlunto seperti Lubang Mbah Soero, Kereta Api Sawahlunto, dan Museum Goedang Ransoem, menjadi bukti peninggalan pemerintahan Kolonial Belanda. Setidaknya peninggalan tersebut bisa menjadi bahan sebagai ingatan kolektif tentang kisah yang melatarbelakanginya. 

More on this topic

Comments

Advertisment

Popular stories