Nalar-National Archaeology– Archaeology Indonesia- Temuan alat batu berusia 1,1 juta tahun yang lalu di Situs Cenjiawan, Lembah Nihewan, Tiongkok, membawa pengetahuan baru yang signifikan tentang teknologi alat batu di Eurasia. Penelitian ini, dipimpin oleh Dong-Dong Ma dkk., menunjukkan pola pembuatan alat batu yang mirip dengan Budaya Acheulean di Afrika. Selain itu, penelitian ini membuka wawasan baru tentang strategi adaptasi manusia kuno terhadap lingkungan, yang terpengaruh oleh sumber daya alam yang melimpah di sekitar dua sungai besar, Sanggan dan Huliu, yang mengalir di Lembah Nihewan.

Lembah Nihewan, terletak sekitar 150 km di barat Beijing, telah menjadi fokus penelitian paleontologi yang berkelanjutan. Daerah ini dikenal karena kaya akan situs arkeologi, termasuk Situs Cenjiawan, Majuangou, dan Xiaochangliang, yang merupakan bagian dari kumpulan situs Paleolitik di luar Afrika. Melalui penelitian ini, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang evolusi manusia kuno di Eurasia dan peran pentingnya dalam perkembangan sejarah manusia secara global.
Dengan terus berlanjutnya penelitian paleontologi dan arkeologi di Lembah Nihewan, diharapkan akan muncul lebih banyak temuan yang akan memberikan wawasan baru tentang kehidupan manusia kuno, teknologi yang digunakan, serta adaptasi terhadap lingkungan. Ini akan memberikan kontribusi yang berharga dalam memahami sejarah evolusi manusia dan perkembangan budaya manusia di masa lampau.
Penelitian Paleontologi yang terus berlanjut, menjadikan lembah ini begitu terkenal dan ditemukan ratusan situs arkeologi. Situs-situs tersebut dilabeli sebagai kumpulan situs Paleolitik yang berada di luar Afrika. Selain Situs Cenjiawan, situs tertua lainnya yang berada di area tersebut di antaranya Majuangou, Xiaochangliang, dan berbagai situs Paleolitik lainnya.
Penemuan Situs Cenjiawan
Situs Cenjiawan, yang pertama kali ditemukan pada tahun 1984. Awalnya situs ini tidak menarik banyak perhatian terkait teknologi alat batu yang ditemukan di dalamnya. Namun, seiring berjalannya waktu dan serangkaian penelitian yang dilakukan, pola-pola unik dalam pembuatan serpihan batu inti mulai terungkap. Fenomena ini memberikan petunjuk bahwa situs ini mungkin berasal dari periode Pleistosen Bawah. Dengan demikian, temuan ini menjadi titik fokus penting dalam memahami perkembangan teknologi alat batu dan evolusi manusia pada masa tersebut.
Penggalian yang dilakukan sejak tahun 1984 hingga 2019, juga berhasil menemukan kumpulan pecahan tulang binatang. Diketahui, tulang tersebut berasal dari jenis burung dan beberapa hewan vertebrata seperti gajah, sejenis anjing, dan beberapa hewan vertebrata lainnya. Dari kumpulan tulang tersebut, dua di antaranya ditemukan bekas sayatan dan tiga pecahan lainnya terdapat bekas pukulan. Selain itu, temuan tersebut kemungkinan memiliki kaitan yang erat dengan alat batu yang juga banyak ditemukan di situs tersebut.
Alat Batu di Situs Cenjiawan

Analisis yang dilakukan dengan mengelompokkan jenis bahan dan bentuk serpihan, berhasil memunculkan sebuah karakteristik tertentu. Pada tahapan analisis, penelitian ini menggunakan sistem repatriasi atau pemulihan bentuk dari bahan yang digunakan dalam proses pembuatan alat batu.
Berbeda dengan budaya Archeulian di Africa, di situs ini tidak memiliki serpihan alat batu besar. Melainkan ditemui serpihan yang dikerjakan secara acak dan menghasilkan potongan-potongan yang lebih kecil. Maka dari itu, kumpulan alat batu yang ditemukan sangat perlu dipertimbangkan kehadirannya. Kronologi usia yang sebelumnya hanya berumur sekitar 800 tahun yang lalu, kini berubah sekitar 1,1 juta tahun yang lalu. Hal tersebut semakin memperkuat kedudukan Asia Timur dalam membicarakan kemampuan manusia dalam menciptakan sebuah peralatan hidup pada fase tersebut.