NALAR – Arkeologi Indonesia, Tiap tahunnya, kita memperingati perayaan hari purbakala Indonesia yang jatuh pada tanggal 14 Juni. Tanggal ini dipilih atas sejarah pembentukan Oudheidkundige Dienst yang disebut juga Dinas Purbakala atau Jawatan Purbakala pada 14 Juni 1913 oleh pemerintah Hindia Belanda. Tepat pada tahun ini, kita telah merayakan pondasi kepurbakalaan selama 110 tahun lamanya.
Tiap tahun, para peneliti berusaha mengungkap misteri-misteri kebudayaan. Tak jarang dari mereka berhasil mengguncang dunia dari temuan-temuan penelitiannya. Termasuk dari Indonesia, yang saat ini juga menjadi perhatian dunia dalam melihat bagaimana berlangsungnya peradaban dunia pada masa lampau.
Teranyar, Graham Hancock menggemparkan dunia lewat serialnya di netflix yang bertajuk Kiamat Purba (Ancient Apocalypse). Ia menceritakan di episodenya pembukanya bahwa Gunung Padang merupakan bukti peradaban yang sangat maju. Menurutnya, Gunung Padang mulai dihuni kurang lebih 20.000 tahun yang lalu. Salah satu pernyataan paling menariknya ialah Gunung Padang merupakan salah satu bangunan tertua di dunia. Saksi peradaban maju yang hilang ditelan banjir bandang. Hal ini yang kemudian membuatnya mendapatkan kritikan tajam dari kalangan akademisi, utamanya para arkeolog.
Perkenalkan, Pseudoarkeologi!
Narasi-narasi Graham Hancock tentang Gunung Padang terdengar sebagai kebenaran ambigu untuk telinga beberapa peneliti. Namun, narasi tersebut justru mendapat tempat di hati masyarakat. Bagi kalangan ilmuwan arkeologi, Graham Hancock salah satu penganut psedouarkeologi.
Di era digital, fenomena ini bak jamur di musim penghujan. Informasi beredar dengan cepat melalui media sosial. Media sosial berkembang menjadi sumber informasi yang paling mudah diakses oleh masyarakat. Media sosial menjadi pintu utama dalam penyebaran pseudoarkeologi.
Menurut Daud Aris Tanudirjo, pseudoarkeologi dibangun dengan cara-cara pseudosains. Yakni pengetahuan tampak secara ilmiah berasal dari fakta/data, tetapi tidak dapat dibuktikan atau diverifikasi kebenarannya. Sedangkan, Kamus Oxford mendefinisikan pendekatan yang sebagian besar tidak berhubungan yang salah menerapkan, salah menafsirkan, dan salah menggambarkan materi arkeologi dengan cara yang tidak ilmiah dan sering spekulatif.
Para akademisi cenderung mempublikasikan hasil penelitiannya dalam kemasan akademik. Bagi kalangan luas, itu merupakan sesuatu yang “berat” untuk didiskusikan di tongkrongan warkop. Hal ini kemudian sejalan dengan tingkat literasi masyarakat yang masih belum menyentuh standar. Dua faktor itu menjadi penyumbang terbesar langgengnya konspirasi-konspirasi.
Namun, mengapa masyarakat cenderung menyukai teori-teori konspirasi seperti yang dikemukakan Graham Hancock? Jan-Willem van Prooijen (2022) menyatakan ada tiga alasan kuat mengapa masyarakat menyukainya. Pertama, dapat mempertahankan ego rapuh dari dirinya ataupun kelompoknya. Kedua, dapat merasionalkan keyakinan dan tindakan mereka sebagai hal yang sah atau benar. Ketiga, terhibur melalui kesempatan untuk mengungkap misteri dalam kisah yang menarik.
Memenangi Perdebatan dengan Pseudoarkeologi
Sarah Kurnick menjelaskan bahwa terdapat bahaya laten dari pseudoarkeologi. Contohnya, bahwa yang membangun piramida ialah alien. Bagi beberapa orang, cerita ini akan terdengar seperti sebuah lelucon saja. Namun, cerita ini bisa saja mengerdilkan peradaban Mesir Kuno. Seolah-olah masyarakat kuno Mesir harus dibantu oleh “kekuatan luar” untuk menyelesaikan piramida. Hal ini bisa saja berdampak menjadi sebuah isu-isu rasis. Hal ini kemudian perkuat oleh Angelina Nugroho pada tahun 2022. Ia meneliti tentang paham ini di media sosial twitter. Ia menguraikan secara jelas bahwa tren ini dipicu untuk mempertahankan supremasi kedigdayaan orang kulit putih.
Sepertinya, memboikot serial Ancient Apocalypse bukanlah pilihan tepat. Atau misalnya, film-film lainnya yang bergenre psuedoarkeologi. Namun, yang butuh dilakukan ialah memerangi argumentasi dari paham tersebut. Momentum hari purbakala merupakan salah satu media untuk menyerukan perlawanan terhadap pseudoarkeologi. Agar masyarakat luas menyadari kekeliruan dari entertaiment seperti itu. Salah satu keunggulan dari para narator dari psuedoarkeologi ialah menceritakan data dengan nuansa berbeda. Bahkan beberapa pernyataan mereka terkesan bombastis sehingga lebih mudah menarik perhatian.
Pada akhirnya, kita tetap butuh keberadaan dari Graham Hancock lainnya. Kita hanya butuh mengikuti cara Hancock dalam mengemas informasi budaya secara menarik. Beradu argumentasi untuk memikat nalar dari masyarakat luas.
Selamat Hari Purbakala 2023