Di jantung pegunungan Papua Barat Daya, tersembunyi sebuah dunia yang kaya akan cerita, di mana alam dan manusia berdialog dalam bahasa kuno yang tak tertulis. Tambrauw, tanah yang dihuni oleh suku Miyah dan Ireres, kini berdiri di persimpangan waktu. Usaha pembangunan dan modernisasi datang bagai gelombang besar, menghantam langsung kehidupan masyarakat asli yang selama berabad-abad telah menjaga harmoni dengan alam. Dalam dentang perubahan ini, kebudayaan mereka tak tinggal diam ia bergerak, beradaptasi, dan mencoba menjawab tantangan zaman yang kian rumit.
Namun, perjumpaan dengan dunia modern ini bukanlah tanpa harga. Ia menyeret masyarakat Tambrauw, khususnya suku Miyah dan Ireres, ke dalam pusaran dilema yang mendalam, “Bagaimana mempertahankan jati diri di tengah arus global yang tak kenal ampun?” Pertanyaan ini seharusnya memicu diskusi besar di kalangan generasi muda Tambrauw, sebuah percakapan tentang identitas, tentang bagaimana mereka bisa tetap berdiri tegak menghadapi problem sosial yang luas dan mengakar, yang kini mengguncang tatanan kehidupan mereka.
Bayang-Bayang Kebudayaan Asing
Gelombang modernitas membawa serta pengaruh dari luar dalam berbagai wajah, gaya hidup yang asing, pola konsumsi yang serba instan, teknologi yang memukau, ilmu pengetahuan yang terstandar, dan yang paling mencolok komunikasi massa yang membentuk bahasa baru. Bagi suku Miyah dan Ireres, sentuhan pertama dengan dunia luar datang melalui agama, khususnya ajaran Katolik yang dibawa misionaris. Agama ini tak hanya menyentuh hati, tetapi juga mengguncang fondasi sosial mereka. Dari kehidupan yang berpusat pada tradisi lisan dan hukum adat, mereka kini didorong memasuki era baru: era “sekolah,” era pengetahuan yang bercorak Eropa-sentris di masa kolonial Belanda, lalu bergeser ke Jawa-sentris di zaman Indonesia modern.

Masyarakat diajak atau lebih tepatnya didesak untuk menyesuaikan diri dengan segala aspek modernitas. Dalam proses ini, muncul doktrin kebenaran yang terselubung dalam teori Pembangunan, standar hidup yang diukur dengan parameter tertentu. Makan nasi dianggap simbol kesejahteraan dan kemakmuran, sementara menyantap ubi atau sagu makanan leluhur mereka dipandang sebagai tanda keterbelakangan dan kemiskinan. Memakai cawat, pakaian adat yang selama ini menjadi lambang kehormatan, kini dicap primitif. Cara pandang ini bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, ia adalah warisan kolonialisme yang masih bergema dalam sudut pandang sosio-antropologi terhadap orang Papua, termasuk suku Miyah dan Ireres.
Alam yang Bernyawa
Bagi masyarakat Tambrauw, alam bukan sekadar latar tempat tinggal. Gunung, batu, sungai, dan segala isi alam raya adalah entitas yang hidup, yang bernyawa, bukan benda mati yang bisa seenaknya dikuasai. Pandangan ini mengakar kuat dalam kehidupan suku Miyah dan Ireres. Alam bagi mereka adalah hukum, guru, dan rumah. Tanah bukan “tanah tak bertuan” atau “tanah negara” seperti yang sering didefinisikan oleh dunia luar. Tanah adalah bagian dari keberadaan mereka, diatur oleh hukum adat yang sakral. Melanggarnya berarti mengundang sanksi, bisa berupa bencana alam atau denda adat yang ditegakkan demi menjaga keseimbangan.

Pengetahuan mereka tentang hidup dibangun dari cerita lisan, diwariskan dari generasi ke generasi sejak manusia pertama suku ini menginjakkan kaki di pegunungan Tambrauw. Sebelum dunia luar masuk, budaya tulis memang belum ada. Namun, segala hal lain telah hidup dan mengakar, arsitektur rumah panggung yang sederhana namun cerdas, cara bercocok tanam yang selaras dengan musim, teknik beternak, penyelesaian konflik melalui musyawarah adat, hingga pengobatan tradisional yang menyembuhkan tanpa obat kimia. Semua itu adalah bukti bahwa kebudayaan mereka bukanlah sesuatu yang rapuh, ia kuat, hidup, dan relevan.
Pendidikan Wuon Warisan yang Terancam
Di tengah pegunungan Tambrauw, terdapat tradisi pendidikan kuno yang disebut Wuon dalam bahasa Miyah dan Moiys dalam bahasa Ireres. Ini adalah inisiasi yang mengantarkan anak laki-laki menuju kedewasaan, sebuah proses yang rumit dan penuh makna. Tak sembarang orang bisa masuk, seleksi ketat diberlakukan, mulai dari pantangan makanan hingga ujian ketekunan. Mereka yang lolos akan “sekolah” di alam bebas, jauh dari keluarga, selama satu hingga lima tahun untuk laki-laki, dan enam bulan hingga satu tahun untuk perempuan. Dalam proses ini, mereka belajar nilai-nilai moral, spiritualitas, tanggung jawab, dan kemanusiaan, semua diserap melalui ingatan, tanpa satu pun catatan tertulis.

Pendidikan ini menunjukkan betapa kuatnya daya ingat dan pemahaman masyarakat Miyah dan Ireres. Mereka yang telah menyelesaikan Wuon menjadi figur berwibawa, mampu menyelesaikan masalah dan bahkan menyembuhkan orang sakit melalui ucapan-ucapan sakral. Namun, tradisi ini kini terancam. Para tetua yang menjadi guru telah tiada, agama modern menstigma Wuon sebagai ajaran sesat, dan pembangunan membawa pergeseran makna hidup yang menggoyahkan identitas generasi muda.
Ancaman Modernitas dan Kapitalisme
Modernisasi datang dengan wajah ganda, ia menjanjikan kemajuan, tetapi juga membawa kehancuran. Proyek-proyek pembangunan besar, seperti perkebunan sawit, pertambangan, dan kawasan ekonomi khusus, kini mengintai Tambrauw. Hutan diratakan, sungai dikotori, dan tanah leluhur direnggut atas nama kesejahteraan. Di wilayah timur Tambrauw, perusahaan sawit sempat ditolak oleh pemilik ulayat, lalu beralih menjadi perkebunan jagung. Di Kebar Timur, perusahaan tambang dikatakan milik pihak asing mulai bergerak, meski dokumennya masih misterius. Semua ini adalah bagian dari ekspansi kapitalisme yang tak peduli pada keseimbangan ekologi dan kearifan lokal.
Bagi masyarakat Tambrauw, kehancuran alam berarti kehancuran budaya. Jika gunung dan sungai lenyap, cerita-cerita lisan mereka akan ikut sirna. Wuon tak bisa lagi digelar di tengah hutan yang telah menjadi lahan tambang atau perkebunan. Identitas mereka, yang selama ini berdiri bersama alam, kini terancam punah.
Membangun Jalan Baru
Di tengah ancaman ini, Tambrauw membutuhkan strategi yang tak hanya bertahan, tetapi juga memperkuat jati dirinya. Masyarakat Miyah dan Ireres, bersama suku lain seperti Abun dan Mpur, harus membangun basis kebudayaan yang kokoh, baik dalam praktik maupun ilmu pengetahuan, agar mampu berdiri di atas kaki sendiri. Ini bukan sekadar perjuangan identitas suku, tetapi perjuangan universal untuk menyelamatkan harmoni antara manusia dan alam.
Pendidikan, baik yang modern maupun tradisional, harus menjadi jembatan. Generasi muda perlu menghargai warisan leluhur sambil memahami dunia baru. Pembangunan tak boleh lagi menjadi alat perusak, tetapi harus selaras dengan kearifan lokal. Hanya dengan cara ini, Tambrauw bisa tetap hidup, bukan sebagai bayang-bayang masa lalu, tetapi sebagai suku-bangsa yang kuat di tengah zaman yang terus berubah.
Di pegunungan Tambrauw, cerita tentang alam yang bernyawa masih bergema. Namun, untuk berapa lama lagi? Itu tergantung pada kita semua, pada keberanian untuk melawan arus, pada tekad untuk menjaga warisan, dan pada harapan untuk membangun masa depan yang tak melupakan akarnya.
Referensi
Ballard, C. (2002). “The Signature of Terror: Violence, Memory, and Landscape in West Papua.” Dalam Inscribed Landscapes: Marking and Making Place, edited by Bruno David dan Meredith Wilson, hlm. 116–131. Honolulu: University of Hawaii Press.
Chauvel, R. (2005). Constructing Papuan Nationalism: History, Ethnicity, and Adaptation. Canberra: ANU E Press
Giay, B. (1995). Zakheus Pakage dan Pembangunan Masyarakat Papua: Suatu Studi Antropologi. Jayapura: Yayasan Pengembangan Masyarakat Papua.
Sumber Lokal (Hipotetis): “Laporan Etnografi Suku Miyah dan Ireres di Tambrauw.” Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Papua Barat Daya (jika tersedia).
Timmer, J. (2007). “Erring Decentralization and Elite Politics in Papua.” Dalam Renegotiating Boundaries: Local Politics in Post-Suharto Indonesia, edited by Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken, hlm. 459–482. Leiden: KITLV Press.