Perempuan dari Masa Ke Masa di Indonesia

Related Articles

Berbicara tentang perempuan adalah membahas kisah yang tak pernah usang. Dari zaman prasejarah hingga era modern, perempuan selalu memiliki peran penting dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan, dalam kitab-kitab suci, keberadaan perempuan sering kali disebutkan. Bahkan, di Indonesia, perjalanan perempuan penuh dengan tantangan yang tak sedikit, terutama karena kuatnya budaya patriarki yang masih mengakar.

Jejak-jejak di Masa Lalu

Di masa tradisional, perempuan jarang menjadi sorotan dalam catatan sejarah, kecuali kalau mereka mempunyai kekuasaan, seperti ratu-ratu di Kerajaan Majapahit. Tulisan-tulisan seperti babad atau serat dalam budaya Jawa lebih sibuk membahas politik dan garis keturunan raja, yang biasanya didominasi laki-laki. Menurut Siti Zahra Goenawan, perempuan hanya dilirik kalau mereka punya “sesuatu yang istimewa”, misalnya seperti Srikandi dalam cerita wayang digambarkan dengan sosok yang kuat dan pemberani. Sayangnya, ini justru menunjukkan betapa perempuan biasa sering terabaikan.

Saat Belanda dan Inggris berkuasa, perempuan Indonesia juga tidak banyak muncul dalam cerita sejarah. Sejarawan seperti Raffles, dalam bukunya History of Java (1817), lebih tertarik pada alam dan politik ketimbang kehidupan perempuan. Tapi, ada pengecualian: R.A. Kartini. Lewat surat-suratnya yang diterbitkan pada 1911 (Door Duistemis Tot Licht), Kartini memperjuangkan pendidikan dan kebebasan perempuan. Meski begitu, kisahnya lebih menjadi outlier cerita perempuan pada umumnya dan tetap tenggelam.

Perjuangan di Panggung Politik

Era Orde Lama (1959-1965)

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, perempuan mulai mempunyai tempat di dunia politik, terutama di masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno. Salah satu yang menonjol adalah Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Didirikan pada tahun 1950, organisasi ini pernah mempunyai lebih dari 650.000 anggota pada tahun 1957. Mereka memperjuangkan hak perempuan dan anak, bahkan ikut mendorong perubahan hukum perkawinan. Sayangnya, karena dekat dengan PKI, Gerwani dibubarkan pada 1966 setelah peristiwa G30S/PKI, dan semangat politik perempuan pun meredup.

Era Orde Baru (1966-1998)

Di masa Orde Baru pimpinan Soeharto, perempuan justru “ditarik mundur”. Organisasi seperti Gerwani lenyap, digantikan oleh kelompok seperti PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga) dan Dharma Wanita yang fokus pada peran domestik. Lewat doktrin “Panca Dharma Wanita”, perempuan didorong jadi istri dan ibu yang baik, bukan pelaku politik. Ini membuat suara mereka di ranah publik hampir hilang, lebih sibuk mendukung stabilitas negara dan program keluarga berencana.

Namun, di tengah represi ini, ada cerita kelam yang tak bisa dilupakan, kisah Marsinah, seorang buruh perempuan yang jadi simbol perjuangan. Marsinah bekerja di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik jam di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Pada tahun 1993 masih di masa Orde Baru ia memimpin demo menuntut kenaikan upah dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari, sesuai imbauan pemerintah Jawa Timur. Bersama rekan-rekannya, ia mogok kerja pada 3-4 Mei 1993. Tapi, perjuangannya berakhir tragis. Pada 5 Mei malam, Marsinah diculik. Tiga hari kemudian, jasadnya ditemukan di sebuah gubuk di Wilangan, Nganjuk, sekitar 200 kilometer dari tempat kerjanya. Tubuhnya penuh luka, ada tanda-tanda penyiksaan berat, bahkan dugaan pemerkosaan sebelum dibunuh. Kasus ini menggegerkan masyarakat dan dunia internasional, tapi hingga kini pelakunya tak pernah terungkap. Marsinah jadi martir, mengingatkan kita betapa mahalnya harga perjuangan perempuan buruh saat itu.

Era Reformasi (1998-Sekarang)

Setelah Soeharto lengser pada 1998, pintu politik untuk perempuan terbuka lagi. Ada Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) yang lahir pada tahun 2000, dan aturan baru seperti Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 yang mewajibkan 30% calon legislatif adalah perempuan. Hasilnya, jumlah perempuan di parlemen naik dari 11,8% pada 2004 jadi 18% pada 2009. Tapi, angkanya sempat turun lagi jadi 17,3% pada 2014. Ini menunjukkan bahwa meski ada kemajuan, budaya yang masih didominasi laki-laki jadi penghalang besar

Sampai di tahun 2025, kekerasan terhadap perempuan masih tetap menjadi masalah serius. Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional 2024 dari UNFPA, 1 dari 4 perempuan di Indonesia pernah mengalami kekerasan fisik atau seksual, entah dari pasangan atau orang lain. Data lain dari 2023 juga mencatat 16.000 kasus kekerasan terhadap perempuan dalam sembilan bulan pertama tahun itu. Angka-angka ini membuktikan bahwa patriarki masih kuat, memengaruhi cara masyarakat memandang perempuan, baik di rumah maupun di ruang publik.

Kisah Marsinah di masa 1990-an seolah jadi cermin yang masih relevan. Perempuan buruh yang berani bersuara untuk haknya sering kali menghadapi risiko besar, bahkan nyawa. Meski hukum sudah mulai berpihak misalnya dengan adanya kuota politik pelaksanaannya sering tersendat. Banyak orang masih berpikir politik adalah “dunia laki-laki”, dan perempuan dianggap lebih cocok mengurus rumah. Ini membuat perjuangan perempuan untuk diakui dan merasa aman masih jauh dari selesai.

Tabel: Perjalanan Politik Perempuan

EraPeran Politik PerempuanHambatan Utama
Orde Lama (1959-1965)Aktif lewat Gerwani, ikut ubah kebijakanDibubarkan karena ikut PKI
Orde Baru (1966-1998)Terbatas, fokus ke urusan rumah tanggaAturan negara yang membatasi
Reformasi (1998-Sekarang)Lebih banyak wakil di parlemen, ada kuota 30%Budaya patriarki dan pelaksanaan lelet

Referensi;

Abendanon, J.H. (1911). Door Duistemis Tot Licht. Den Haag: Van Hoeve.

AMINEF. (2023). Why is Indonesia still failing victims of domestic violence?.

Amnesty International. (1994). Indonesia: The Murder of Marsinah. Laporan Kasus.

Blackburn, S. (2004). Women and the State in Modern Indonesia. Cambridge: Cambridge University Press.

Goenawan, S.Z. (2020). “Perempuan dalam Historiografi Tradisional Indonesia.” Jurnal Sejarah Indonesia, 15(2), 45-60.

Parawansa, K.I. (2015). “Perempuan di Parlemen: Tantangan dan Peluang di Era Reformasi.” Jurnal Politik Indonesia, 10(1), 23-38.

Raffles, T.S. (1817). The History of Java. London: John Murray.

Suryakusuma, J. (2011). State Ibuism: The Social Construction of Womanhood in New Order Indonesia. Jakarta: Komunitas Bambu.

UNFPA. (2024). UNiTE: Collaborative Effort to Reveal the Reality of Violence Against Women in Indonesia.

More on this topic

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Advertisment

Popular stories