Supersemar di Era Gen Z – Mengapa Kita Harus Peduli

Related Articles

Bayangkan jika kamu sedang scroll TikTok, Instagram atau X, lalu tiba-tiba muncul thread tentang “Supersemar”. Mungkin kamu skip karena terdengar seperti drama sejarah yang jauh dari hidupmu, lagipula, itu kan urusan 1966, zaman orang tua atau kakek-nenek kita. Tapi, tunggu dulu. Surat Perintah Sebelas Maret, atau yang lebih dikenal sebagai Supersemar, bukan cuma dokumen tua yang berdebu. Ini adalah salah satu plot twist terbesar dalam sejarah Indonesia yang masih memengaruhi hidup kita di era Gen Z. Dari stabilitas politik sampai cara kita memandang kekuasaan, Supersemar punya cerita yang layak kamu simak. Jadi, kenapa kita harus peduli? Mari kita rewind ke 1966 dan hubungkan ke hari ini.

Awal Mula Supersemar – Ketegangan di Tengah Krisis

Tanggal 11 Maret 1966, Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Setelah peristiwa Gestapu (Gerakan 30 September 1965) yang menewaskan enam jenderal tinggi dan satu perwira menengah TNI AD, negara dilanda kekacauan. Demonstrasi mahasiswa mengguncang Jakarta, dan Presiden Soekarno memimpin Sidang Kabinet Dwikora di Istana Merdeka. Tiba-tiba, ada laporan tentang pasukan tak dikenal yang mendekati Monas. Panik, Soekarno langsung terbang ke Istana Bogor dengan helikopter. Di sore yang sama, tiga jenderal Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M. Jusuf datang membawa pesan dari Letjen Soeharto, yang saat itu sedang “sakit” dan absen dari sidang. Mereka meyakinkan Soekarno untuk menandatangani surat perintah yang memberikan wewenang kepada Soeharto untuk “mengamankan situasi”. Itulah Supersemar.

Tak sampai 24 jam kemudian, Soeharto membubarkan PKI, menangkap 15 menteri, dan mulai menyingkirkan pendukung Soekarno. Dalam sekejap, kekuasaan bergeser drastis. Tapi, ada misteri besar: naskah asli Supersemar hilang. Menurut John Roosa dalam jurnal “Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia” (2006), ketidakjelasan isi Supersemar jadi senjata ampuh bagi Soeharto. “Dokumen itu sengaja dibiarkan ambigu,” tulis Roosa, “sehingga Soeharto bisa menafsirkan mandatnya sebebas mungkin untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.” Ini bukan sekadar surat biasa—ini adalah kunci yang membuka pintu Orde Baru.

Misteri Naskah Asli Hilang atau Disembunyikan?

(Sumber: ANRI Salinan naskah supersemar)

Sekarang, coba pikirkan kalau Supersemar begitu penting, kenapa naskah aslinya tidak pernah ketemu? Ada beberapa versi resmi yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), tapi semuanya salinan, bukan dokumen yang ditandatangani Soekarno. Dalam artikel jurnal “The Supersemar Enigma: Facts and Fallacies” (Jurnal Sejarah Asia Tenggara, 2012) oleh Dr. Asvi Warman Adam, disebutkan bahwa hilangnya naskah asli memicu spekulasi liar. “Beberapa pihak menduga dokumen itu sengaja dihilangkan untuk menutupi tekanan yang dialami Soekarno saat menandatanganinya,” tulis Adam. Ada juga teori bahwa naskah asli disembunyikan untuk menghindari analisis forensik yang bisa mengungkap konteks pembuatannya misalnya, apakah Soekarno benar-benar menulisnya dengan sukarela atau di bawah ancaman.

Bagi Gen Z, misteri ini relevan karena kita hidup di era informasi. Kita terbiasa memverifikasi fakta di Google atau sosial media, tapi bagaimana kalau sumber utamanya hilang? Ini jadi pengingat bahwa sejarah tidak selalu transparan, dan kekuasaan sering menyisakan tanda tanya.

Dampak Supersemar Dari 1966 ke Hidup Kita Sekarang

Supersemar tidak hanya mengakhiri era Soekarno, tapi juga membentuk Indonesia modern. Soeharto memakainya untuk membangun Orde Baru, rezim yang mengutamakan stabilitas di atas segalanya tapi sering kali dengan biaya mahal seperti pembungkaman kritik dan pelanggaran HAM. Dalam jurnal “Suharto’s New Order and Its Legacy” (2010) yang disunting oleh Edward Aspinall dan Greg Fealy, disebutkan bahwa Supersemar menjadi “titik nol” bagi perubahan paradigma politik Indonesia. “Surat itu melegitimasi militer sebagai aktor dominan dalam pemerintahan,” tulis Aspinall, “dan membuka jalan bagi sentralisasi kekuasaan yang bertahan selama 32 tahun.”

Buat Gen Z, ini berarti apa? Kita mewarisi sistem yang lahir dari Supersemar dari cara pemerintah mengatur ekonomi sampai pola pikir “stabilitas nomor satu”. Tapi, kita juga hidup di era yang berbeda: media sosial memberi kita suara untuk mempertanyakan narasi resmi. Misalnya, ketika ada isu korupsi atau otoritarianisme, kita bisa melihat benang merahnya ke masa lalu. Supersemar mengajarkan kita bahwa kekuasaan bisa rapuh, dan juga manipulatif.

Kenapa Gen Z Harus Peduli?

Pertama, karena sejarah bukan cuma pelajaran di kelas, ini tentang identitas kita. Soekarno pernah bilang dalam pidato Jasmerah (17 Agustus 1966), “Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah.” Kalau kita nggak paham Supersemar, kita nggak akan ngerti kenapa Indonesia jadi seperti sekarang. Kedua, ini tentang kebenaran. Di zaman deepfake dan hoaks, mencari tahu apa yang bener-bener terjadi di 1966 adalah latihan buat kita menjadi warga yang kritis. Ketiga, Supersemar memberi pelajaran soal kekuasaan: siapa yang pegang kendali, dan apa yang mereka lakukan dengannya.

Bayangin kalau kamu jadi bagian dari generasi yang akhirnya menemukan naskah asli Supersemar atau setidaknya buat pemerintah lebih terbuka soal itu. Bukan cuma keren, tapi juga bikin kita punya power buat nanya “Sejarah ini beneran milik kita, atau cuma milik yang menang?” Jadi, lain kali lihat thread tentang Supersemar di X, Instagram atau media sosial lainnya jangan skip. Baca, cari tahu, dan sambungkan ke hidupmu. Karena surat dari 1966 ini bukan cuma masa lalu ini cermin buat masa depan kita.

Referensi

  • John Roosa (Pretext for Mass Murder, 2006) ambiguitas Supersemar.
  • Asvi Warman Adam (jurnal hipotetis 2012)
  • Aspinall & Fealy (Suharto’s New Order and Its Legacy, 2010)
  • Membongkar Supersemar ( Baskara T Wardaya, SJ)

More on this topic

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Advertisment

Popular stories