Nalar- National Arkeologi Indonesia– Jalan-jalan sore menyusuri jalanan kota adalah salah satu kegiatan yang mengasyikkan. Banyak hal yang bisa kutemui dalam perjalanan tersebut. Salah satunya pemandangan dua orang anak yang sedang berdiri di trotoar jalan. Dari perawakannya, mungkin usia mereka baru menginjak usia sekolah menengah pertama. Ketika lampu merah menyala, mereka langsung melangkah di atas garis-garis putih zebra crossing. Dua anak itu saling menatap. Diam tidak bergerak, seolah olah memeragakan dua orang yang sedang berdoa. Mereka melakukan pose itu selama kurang lebih 25 detik. Setelah itu, mereka sedikit membungkukkan badan kepada para pengendara.
Kedua anak itu menyapa para pengendara, mulai dari pengendara motor butut hingga mobil mewah. Dengan membawa sebuah kaleng, mereka menunggu uang pecahan-pecahan kecil dari orang-orang yang ada. Senyuman mereka pun merekah ketika salah seorang pengendara memberikan uang pecahan dua ribu rupiah. Kemudian, mereka mengucap terima kasih kepada sang pengendara.
Dua orang anak itu merupakan manusia silver yang sedang melakukan pertunjukkan di jalanan kota. Mereka yang sedang mengharapkan rezeki di tengah kebisingan klakson kendaraan bermotor. Kawan mereka adalah lampu merah, dan musuh mereka adalah lampu hijau. Semakin cepat lampu hijau menyala berarti peluang mereka mendatangi pengendara semakin tipis. Mereka bukanlah anak jalanan, tetapi seorang street performer yang sedang melakukan pertunjukan jalanan.
Dari Roma Menyebar Ke Penjuru Dunia
Pertunjukan jalanan telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kota selama berabad-abad lama. Aktivitas ini mulai berlangsung saat era peradaban Romawi Kuno. Pada masa itu, banyak pertunjukan jalanan yang digagas kalangan buruh. Umumnya, pertunjukan mereka dilakukan tepat di tengah persimpangan jalan kota.
Dari Italia, paham ini kemudian menyebar ke seluruh belahan dunia. Lahirlah berbagai jenis pertunjukan jalanan. Secara umum, kita dapat membaginya menjadi dua bagian, musikal dan non-musikal2. Pertunjukan musikal, seperti bernyanyi, memainkan alat musik, atau terkadang paduan suara jalanan. Sedangkan, pertunjukan non-musikal, seperti pertunjukan akrobatik, sulap, dan lain-lain. Imbalan atau hadiah yang diterima oleh para pelakon bersifat sukarela. Penonton bebas memutuskan ada atau tidaknya hadiah. Kalaupun ada, tidak ada batasan besaran yang diberikan, murni dari keinginan para penonton mereka.
Para Seniman Jalanan Kota
Tradisi ini terus berlanjut hingga masa kini di ruang-ruang publik. Di mana ada keramaian, di situ ada seniman jalanan. Nyaris di setiap pusat keramaian mereka selalu ambil bagian baik di kota metropolitan maupun kota-kota urban. Mereka tidak mengenal waktu, mulai pagi, siang, sore hingga malam hari.
Jumlah mereka kian hari kian meningkat, bahkan ada yang menjadikannya sebagai profesi utama. Mereka adalah suatu subkultur baru yang terbentuk akibat kerasnya kehidupan kota. Para peneliti meyakini bahwa ada tiga faktor penyebab lahirnya kelompok ini, yakni faktor ekonomi, keluarga, dan lingkungan.
Di Indonesia, seniman-seniman jalanan itu dikenal dengan sebutan pengamen jalanan. Namun, kehadiran mereka justru dilabeli sebagai pengemis. Banyak pandangan negatif yang menyeruak di balik profesi “pengamen”. Kadang mereka dianggap sebagai suatu “virus” sosial yang menjangkiti masyarakat. Masyarakat luas seringkali menganggap pengamen sebagai sekelompok pengangguran, yang memakai jalan pintas untuk hidup enak tanpa harus kerja keras.
Kostum Ondel Ondel: Bentuk Kreativitas Seniman Jalanan
Profesi ini kadang dianggap tidak kreatif karena hanya mengandalkan kemampuan seadanya. Namun, seniman jalanan itu memiliki cara tersendiri untuk menyajikan karyanya. Misalnya, bernyanyi, membaca puisi, mengaji, memetik senar gitar, atau hanya dengan irama tepukan tangan semata.
Merujuk ucapan Charles Darwin, yang bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi. Kini mereka juga harus menunjukkan bentuk kreativitas dan ketekunan dalam menghibur masyarakat. Contohnya, dengan memakai kostum atau pakaian unik yang mencolok.
Di Indonesia, kreativitas pengamen jalanan sudah meningkat. Mereka menggunakan kostum tradisional betawi, yaitu Ondel-Ondel. Ondel-ondel adalah kostum yang digunakan dalam pertunjukan seni khas Betawi yang sering muncul dalam pesta rakyat. Ukurannya besar, sekitar 2,5 meter dengan garis tengah 80 cm. Ondel-ondel terbuat dari anyaman bambu yang mudah dipikul. Wajah ondel-ondel dilengkapi dengan topeng dan rambut kepala dari ijuk. Ondel-ondel laki-laki dicat merah, dan perempuan dicat putih.
Ondel-ondel kini menjadi jualan utama beberapa pengamen jalanan di Jakarta. Warisan budaya betawi ini berubah makna dari fungsi sakral menjadi fungsi ekonomi3. Perubahan makna tersebut menyebabkan terjadinya perdebatan di kalangan masyarakat. Bagi yang pro, ini merupakan salah satu bentuk pelestarian kebudayaan. Namun, mereka yang kontra menganggap pengamen Ondel-Ondel tersebut melanggar pakem dalam hal penggunaan musik. Aturan tersebut mengharuskan ondel-ondel diiringi oleh alat musik, seperti rebana, tanjidor, dan gambang kromong4.
Badut Mampang: Dari Studio Ke Teater Jalanan
Selain ondel-ondel, seniman jalanan Indonesia juga menggunakan badut karakter dari film animasi. Contohnya, Mickey Mouse, Spongebob, Hello Kitty, Pikachu, dan karakter-karakter superhero. Badut-badut tersebut bernama Badut Mampang yang dipilih karena lucu dan menggemaskan. Biasanya, kostum mereka sangat mendetail dan berwarna cerah. Pada bagian kepala boneka, bentuknya cenderung lebih besar. Untuk mengundang gelak tawa penontonnya, mereka menggerakkan badan dengan goyangan khas ala mereka.
Jumlah mereka kian hari kian meningkat. Hampir di setiap titik lampu merah kota kini dihadiri oleh mereka. Badut Mampang merupakan suatu bentuk persoalan sosial. Hal tersebut sangat erat kaitannya dengan kemiskinan dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Aktor di balik badut-badut ini tidak kenal usia, mulai dari anak-anak hingga orang tua.
Ryan Fahrido melakukan kajian terhadap fenomena ini di Kota Medan pada tahun 2021. Menurutnya, kehadiran mereka disebabkan oleh dua faktor, yakni faktor keluarga, dan pendapatan orang tua5. Kondisi sosial ekonomi keluarga menyebabkan anak mereka putus sekolah. Keterbatasan biaya hidup menyebabkan anak usia dini harus ikut bekerja. Kemudian, hal tersebut menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan dan tidak adanya keterampilan. Mau tidak mau, salah satu pilihan terbaik mereka adalah menjadi Badut Mampang.
Dua Wajah di Balik Satu Topeng
Ketika lampu merah menyala, baik yang berkostum ondel-ondel maupun badut-badut mampang memulai pertunjukan. Panggung mereka adalah jalanan, dan penontonnya adalah para pengendara yang menanti lampu hijau. Berbekal speaker yang memutar lagu lagu anak dan berjoget riang ke sana kemari. Tak semua orang memperhatikan pertunjukan mereka. Namun, tak sedikit pula yang sesekali mencuri-curi pandang.
Kemudian, pengamen itu melambai kepada para penonton. Berharap untuk diberi hadiah sebagai tanda terima kasih. Ada yang memberikan mereka selembar uang pecahan kecil, sedangkan yang lain memberikan beberapa koin.
Di balik semua itu, dua sisi kehidupan terkuak. Mereka melambai kepada si kaya untuk menerima hadiah. Dengan kostum pengap, mereka mendatangi mobil-mobil yang adem karena AC. Mereka melambai pada si cerdas dengan mengharapkan seribu atau dua ribu rupiah. Mereka yang berdiri di perempatan depan sekolah atau perguruan tinggi, menunggu hadiah dari para cendekiawan.
Pengamen jalanan bukanlah profesi yang resmi. Meskipun demikian, mereka memainkan suatu peran penting. Mereka menciptakan lingkungan yang lebih hidup dan berwarna di kota-kota. Pengamen jalanan adalah sekelompok seniman yang mampu memberikan hiburan dan keceriaan bagi banyak orang.
Mereka bisa membawa kesenangan dan kebahagiaan kepada masyarakat yang mungkin kurang mampu untuk menikmati hiburan lainnya. Di sisi lain, pengamen jalanan dipandang sebagai sosok yang merusak keindahan kota dan lingkungan.
Pada akhirnya, pertanyaan yang mesti direnungkan adalah apakah kita semua sepakat dengan pertunjukan seniman jalanan itu? Memberikan uang kepada mereka mereka sama saja memperlama mereka menggeluti “profesi” tersebut. Sedangkan, jika tidak memberi, apakah kita tega?
REFERENSI
1 Walker, C. (2022, 12 5). A Brief History of Busking. Retrieved 4 16, 2023, from Savage Content: https://www.savagecontent.com/post/a-brief-history-of-busking
2. Boyle, W. (1978). On the Streets: A Guide to New York City’s Buskers. New York, NY: New York City Department of Cultural Affairs.
3 Mulia, H. (2021, 3 4). Pengamen Ondel-Ondel: Cerita dari Rawamangun. Retrieved 4 15, 2023, from Asumsi: https://www.asumsi.co/post/56525/fenomena-pengamen-ondel-ondel-sebuah-cerita-dari-rawamangun/
4 Wijaya, Andesta Herli (2021) Pengamen Ondel-ondel Dan Eksploitasi Ikon Budaya Betawi. Retrieved 4 16, 2023, from Valid News: https://www.validnews.id/kultura/pengamen-ondel-ondel-dan-eksploitasi-ikon-budaya-betawi
5 Fahrido, Ryan (Faktor Yang Mempengaruhi Kehadiran Pengemis Badut Mampang di Kota Medan) Skripsi Sarjana¸ Medan : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu PolitikUniversitas Muhammadiyah Sumatera Utara