Merawat Bahasa Ibu, Merawat Masa Depan

Related Articles

Apuse kokon dao , yarabe soren doreri 
Wuf lenso bani nema baki pase
Arafabye Aswarakwar
Arafabye Aswarakwar

Nalar-National Arkeologi Indonesia-Masih segar ingatan kita saat menyanyikan lagu Apuse Kokondao di bangku Sekolah Dasar dengan penuh khidmat. Lagu ini disenandungkan ketika kelas pelajaran seni. Apuse Kokondao bercerita tentang seorang cucu yang berpamitan kepada kakek neneknya untuk merantau. Lagu tersebut merupakan salah satu dari ratusan lagu tradisional yang ada di Indonesia sebagai simbol bahasa ibu.

Indonesia adalah negara yang terdiri dari ratusan latar belakang etnis, suku, budaya dan bahasa. Indonesia adalah rumah bagi lebih dari tujuh ratus bahasa daerah. Perpaduan masyarakat yang memiliki keragaman bahasa merupakan salah satu kekuatan terbesar kita. Kekuatan itu membawa Indonesia menempati posisi tertinggi kedua yang memiliki keragaman bahasa setelah Papua Nugini.

Bahasa asli yang paling umum digunakan di Indonesia adalah bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bugis, dan kelompok Minangkabau. Bahasa lain, seperti Sasak, Madura, Bali dan beberapa yang lebih kecil masih digunakan, tetapi lebih jarang. Namun, seiring waktu beberapa bahasa tersebut terancam punah. Bahkan belasan bahasa ibu dari berbagai wilayah sudah punah. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini terjadi, mulai dari perkembangan zaman hingga perkembangan kebudayaan itu sendiri.

Mengapa Terancam Punah?

Gufran Ali Ibrahim dalam salah satu tulisannya mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan bahasa ibu terancam punah. Pertama, karena orang tua tidak lagi mengajarkan kepada anak-anaknya dan tidak lagi menggunakan bahasa tersebut dalam keseharian. Kedua, sebagian masyarakat memilih bahasa lain dalam kegiatan komunikasi mereka. Ketiga, dominannya satu bahasa dalam lingkup masyarakat multikultur.

Faktor lain yang berkontribusi terhadap penurunan bahasa ibu di Indonesia adalah meningkatnya migrasi dan perkawinan antara kelompok etnis yang berbeda. Anak-anak mereka akan terlahir dari dua suku yang memiliki bahasanya masing-masing. Hal ini juga mempengaruhi transmisi pengetahuan dan sejarah lisan yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Selanjutnya, kemunculan kota-kota dan penyebaran teknologi modern ikut andil dalam masalah ini. Orang-orang semakin mudah untuk berpindah dari satu daerah ke daerah lain, dan bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang bahasa. Meskipun hal ini membentuk komunitas yang lebih beragam secara budaya, tetapi itu juga menyebabkan banyak bahasa ibu memudar.

Upaya Melestarikan Bahasa Ibu

Untuk melestarikan bahasa ibu di Indonesia, pemerintah perlu melakukan pendekatan yang lebih proaktif. Pendidikan adalah salah satu alat yang penting dalam mewujudkan upaya ini. Indonesia harus berinvestasi dalam program pendidikan yang menyediakan pengajaran dalam berbagai bahasa asli dan mendorong penggunaannya. Selain itu, perlunya upaya preservasi bahasa-bahasa yang terancam punah tersebut sebelum benar-benar hilang.

Banyak di antara kita yang tumbuh lewat falsafah tradisional yang dituturkan dalam bahasa ibu kita. Baik itu untuk membentuk akhlak, prinsip hidup, cita-cita, maupun norma-norma3. Sama halnya dengan orang-orang Bugis yang akrab dengan falsafah “Resopa Temmangingi Namalomo Naletei Pammase Dewata”. Falsafah ini berarti bahwa hanya dengan perjuangan dan kerja keras yang terus menerus yang akan mendapat rida dari yang Maha Kuasa. Ungkapan ini menjadi cambuk bagi orang-orang bugis untuk bekerja keras mencapai kesuksesan.

Bahasa ibu merupakan bagian inti dari warisan budaya Indonesia. Melestarikannya tidak semata-mata untuk romantisme masa lalu semata, tetapi melestarikannya juga berarti merawat jati diri dan masa depan kita.

REFERENSI

Kardi, D. (2022, Juni 30). Data Kemendikbud : 11 Bahasa Daerah di Indonesia Punah, Maluku Terbanyak. Retrieved 4 6, 2023, from CNN Indonesia.

Ibrahim, Ali Ibrahim. (2011) Bahasa Terancam Punah : Fakta, Sebab-Musabab, Gejala dan Strategi Perawatannya. Linguistik Indonesia¸ 29 (1), 33-52

Solissa (2021). Ungkapan Tradisional dalam Wenek sebagai Ekspresi Kearifan Lokal Masyarakat Pulau Buru. Arif : Jurnal Sastra dan Kearifan Lokal, Vol 1, No. 1, 133-150

More on this topic

Comments

Advertisment

Popular stories