Nalar-National Archaeology.com-Morowali yang terletak di Sulawesi Tengah mungkin belum begitu dikenal oleh banyak orang. Daerah ini berada pada lokasi yang strategis, berada di tengah – tengah Pulau Sulawesi. Sulawesi yang menyerupai huruf “K,” Morowali tepat pada sisi kanan sudut huruf K tersebut. Sisi baratnya bertemu Pegunungan Pompangeo dan Danau Poso, Matano dan Towuti. Sedangkan di sisi timurnya, disapa langsung ombak Laut Banda. Morowali telah melintasi berbagai lini waktu. Kebudayaan Morowali yang membentang dari zaman prasejarah hingga masa sekarang. Wilayah ini memiliki sejarah nan budaya yang kaya dan pernah menjadi pusat perdagangan di Sulawesi Tengah sejak ratusan tahun yang lalu.
Morowali telah dimekarkan menjadi dua wilayah, pertama Kabupaten Morowali yang berpusat di Bungku. Kedua ialah Kabupaten Morowali Utara yang berkedudukan di Kolonodale. Padahal kedua daerah ini menjadi salah satu surga Indonesia yang patut diperhitungkan saat ini. Wilayah ini memiliki potensi sumber daya yang luar biasa, baik dalam hal sumber daya alam maupun sosial budaya.
To Bungku dan Wita Mori, Tangga Kebudayaan Morowalo
Membincangkan tentang Kebudayaan Morowali tentu tidak bisa dilepaskan dari dua kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah ini. Dua kerajaan itu ialah Kerajaan Bungku atau yang lebih dikenal Tobungku dan Kerajaan Mori atau Wita Mori. Kerajaan ini menganut dua agama yang berbeda, jika Kerajaan Bungku menganut islam, maka Kerajaan Mori menganut agama kristen. Pusat Kerajaan mereka pun berbeda, satu berada di Bungku dan yang lainnya berlokasi di daerah Kolonedale. Meskipun demikian menurut Poelinggomang (2008) dua kerajaan ini pada awalnya memiliki garis keturunan yang sama dan hidup secara harmonis satu sama lain (Marzuki, 2016).
Bukti bukti keberadaan dua kerajaan tersebut masih dapat disaksikan hingga hari ini. Bukti peradaban Kerajaan Mori dapat dilihat Istana Raja Mori dan Makam Raja Mori.
Sedangkan jejak peradaban Kerajaan Bungku dapat dilihat dari bekas istana Kerajaan Bungku, Bekas istana dan makam Raja Ahmad Hadie serta Masjid Tua Bungku. Menurut penjelasan Iksam (2018) Masjid Tua Bungku ini berada pada Desa Marsaoleh, Kecamatan Bungku Tengah, Kabupaten Morowali. Masjid ini dibangun oleh seorang Raja Bungku, yang bernama Kacili Mohammad Baba kisaran tahun 1835.
Benteng Fafontofure yang berdiri kokoh di atas sebuah bukit merupakan karya Kerajaan Bungku yang dibangun tahun 1972. Benteng ini dibangun atas permintaan Raja Sangiang Kinambuka yang merupakan Raja I Kerajaan Bungku. Fungsinya untuk memantau pergerakan Ekspedisi Belanda menuju wilayah Bungku (bpcb gorontalo, 2020).
Kebudayaan Morowali Masa Kolonial
Morowali menulis epos panjang dalam perjuangannya menghadapi Belanda. Cerita ini tertuang dalam buku yang berjudul Sejarah Kerajaan Bungku. Buku tersebut ditulis oleh Syakir Mahid, Haliadi Sadi dan Wilman Darsono.
Butuh waktu selama lebih lima puluh tahun lamanya sebelum Belanda menaklukan dua kerajaan ini. Tercatat ada tujuh kali ekspedisi yang dilancarkan oleh pemerintah kolonial. Ekspedisi perdana Pemerintah Kolonial berlangsung pada tahun 1853. Selanjutnya berturut turut pada tahun 1856, 1980 dan 1989-1890. Dua ekspedisi terakhir berlangsung pada tahun 1907 dengan pasukan dari Makassar. Ekspedisi keenam untuk menaklukan Raja Owolu Marunduh dan Ekspedisi ketujuh untuk mengambil alih Benteng Wulanderi Kerajaan Mori. Hal ini menjadi tanda bahwa Bungku menjadi kerajaan dibawah naungan pemerintah kolonial.
Memasuki pertengahan abad XIX sampai pertengahan abad XX dua kerajaan ini berada di bawah cengkaram pemerintah kolonial. Oleh Hindia Belanda, dijadikan Zelfsturende Landschap atau pemerintahan swapraja. Pemerintahannya berada pada Onderafdeling Kolonodale yang meliputi bekas kerajaan kerajaan Mori dan Bungku. Pada tahun 1909, Pemerintahan Hindia Belanda menempatkan Boengkoe, Mori, dan Banggai sebagai bagian dari Sulawesi Selatan dan Tenggara bukan bagian dari wilayah Sulawesi Utara Tengah.
Berbagai peninggalan bergaya kolonial dapat dijumpai di wilayah ini, misalnya istana Raja di Marsaole. Selain itu ada pula Bekas kantor Kerajaan yang dibangun tahun 1925, bekas kantor atau rumah garam yang dibangun pada tahun 1938, dan bangunan Sekolah Rakyat (SR) yang dibangun pada tahun 1912.
Peradaban Lampau Prasejarah Morowali
Bukti mengenai penghunian wilayah Morowali jauh sebelum masa Kerajaan Bungku dan Mori ataupun pendudukan Belanda. Berbagai jejak penghunian dari masa sebelum prasejarah dapat dilihat di daerah pesisir Morowali, tepatnya di daerah Pentasia, Kabupaten Morowali Utara. Kurang lebih terdapat sebelas situs prasejarah dimana sembilan diantaranya merupakan gua hunian dan penguburan.
Menindaklanjuti data tersebut dilakukanlah penelitian lanjutan untuk mengungkap peradaban di daerah Morowali. Dilakukan oleh tim gabungan dari arkeolog dari Balar Manado yang bekerjasama dengan Tokai University dari Jepang. Penelitian ini berlangsung selama tiga tahun lamanya.
Mereka melakukan analisis laboratorium untuk mengungkapkan kapan Morowali mulai dihuni manusia. Hasil penelitian mereka mengungkapkan fakta yang sangat menarik. Morowali ternyata telah dihuni manusia purba sejak puluhan ribu tahun yang lalu. Misalnya Gua Kunefo telah dihuni 9000 tahun yang lalu atau Situs Topohulu dihuni sejak 10.000 tahun lalu. Sedangkan penelitian lainnya seperti di Gua Topogaru 24.600 tahun lalu dan Gua Gililana sekitar 29.400 tahun yang lalu (Azis, 2019).
Bukti-bukti peradaban di Morowali dapat disaksikan di Gua Ilete yang berada di Bungku Timur. Artefak yang ditemukan didalam Gua Ilete pada permukaan lantai yaitu fragmen gerabah, fragmen keramik, beberapa fragmen tulang dan gigi. Dua jenis tembikar bermotif dan polos, keramik yang memiliki motif dan polos (Muktamar, Alim, & Suseno, 2020).
Ribuan tahun yang lalu, manusia di Morowali sudah memiliki jiwa seni yang tinggi. Lukisan cap tangan berwarna merah yang ditemukan di Situs Topohulu. Diduga, lukisan tersebut berusia ribuan tahun lalu. Penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa usia hunian di gua ini berusia 10.000 tahun yang lalu. Namun hal tersebut belum bisa dijadikan rujukan pasti. Perlu dilakukan analisis mendalam di laboratorium yang canggih. Bisa saja usianya sama lebih tua dan menjadi salah satu lukisan tertua
Peradaban Morowali Saat Ini
Morowali telah memberikan bukti bahwa jejak peradaban di daerah tersebut sudah berlangsung sejak zaman prasejarah, bahkan sampai ribuan tahun yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa kebudayaan di Morowali memiliki sejarah yang panjang yang patut diapresiasi dan dilestarikan.
Banyak pengetahuan yang lahir dari peradaban yang telah berlangsung di tanah Morowali. Melalui penelitian yang telah berlangsung, kita dapat belajar dan memahami lebih dalam tentang sejarah dan kebudayaan di Morowali. Serta menghargai warisan budaya yang telah ada sejak masa lalu.
Works Cited
Azis, N. (2019). Hunian Prasejarah di Sombori, Provinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Tomatowa Volume 2 Nomor 1, 23-36.
bpcb gorontalo. (2020, 01 31). Situs Benteng Fafontofure, Morowali. Retrieved 04 15, 2023, from Kemendikbud: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbgorontalo/situs-benteng-fafontofure-morowali/
IKSAM. (2018). Potensi Peninggalan Arkeologi Sulawesi Tengah untuk Pengembangan Informasi di Museum. Prajnaparamita : Jurnal Museum Nasional, 7-17.
Mahid, S., Sadi, H., & Darsono, W. (2012). Sejarah Kerajaan Bungku. Palu: Penerbit Ombak.
Marzuki, I. W. (2016). Sebaran Sumberdaya Arkeologi di Kabupaten Morowali. Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 2, Agustus, 81-92.Muktamar, Alim, A., & Suseno, S. (2020). IDENTIFIKASI TINGGALAN ARKEOLOGI PADA GUA ILETE DI KECAMATAN BUNGKU TIMUR KABUPATEN MOROWALI. Sangia: Jurnal Penelitian Arkeologi Vol.4, No.2 (Desember 2020): 20 – 32.