Nalar-National Arkeologi Indonesia. “Seni cadas (Rock Art)”, para ahli menyebutnya demikian. Merupakan suatu lukisan prasejarah yang tertera pada dinding gua. Apakah pernah sedikitpun terlintas di pikiran kalian? Pernah mendengar atau melihatnya secara langsung? Kedengarannya menarik, tetapi tahukah kalian bahwa lukisan prasejarah tersebut merupakan karya manusia purba yang paling pertama.
Manusia yang hidup puluhan ribu tahun lalu, telah meninggalkan karya yang begitu menarik. Luar biasa, dua kata yang sangat cocok untuk mengungkapkan betapa takjubnya orang-orang ketika melihatnya. Hal ini pastinya sangat membuka jalan bagi kita untuk tetap berkreasi. Serta menciptakan hal yang tak kalah menariknya dari lukisan tersebut.
Lukisan pada dinding gua hampir menyebar di segala penjuru dunia. Dari berbagai pengamatan yang telah dilakukan, karya ini kerap dikaitkan dengan aspek religi. Perwujudan ekspresi sebagai bentuk eksistensi, bahkan ada yang menyebutnya sebagai seni.
Maros-Pangkep, Galeri Lukisan Prasejarah
Lukisan prasejarah tersebut banyak dijumpai di gua-gua maupun di tebing. Tempat tersebut begitu penting bagi manusia yang hidup ribuan silam. Gua-gua pada saat itu dijadikan sebagai tempat berlindung, bermukim, dan sebagai tempat untuk mengekspresikan apa yang tengah dirasakan.
Kawasan Karst Maros Pangkep adalah salah satu contohnya. Hamparan pegunungan kapur dengan sumber daya alam yang begitu melimpah. Sumber tersebut meliputi keanekaragaman flora dan fauna, sungai bawah tanah (sistem hidrologi). Gua-gua yang terbentuk, baik akibat adanya proses pengangkatan maupun pelipatan batuan. Konon, kawasan tersebut menjadi tempat yang sangat disenangi oleh para kawanan manusia. Mereka masih hidup di fase berburu dan mengumpulkan makanan, serta fase bercocok tanam.
Penghunian gua-gua di Karst Maros Pangkep dilakukan secara berkelompok. Buktinya dapat dilihat dari berbagai temuan yang dijumpai di dalamnya. Dengan mengambil contoh lukisan, biasanya dalam satu gua terdiri dari puluhan bahkan ratusan lukisan. Pada setiap lukisan memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda-beda. Oleh karena itu, tidak dipungkiri bahwa terdapat beberapa individu maupun kelompok di dalam satu objek hunian (gua).
Petunjuk Gender di Gambar Purba

Permana, dkk (2015) menulis The Application of “Digit Ratio 2D:4D” in Predicting Male-Female Hands on Prehistoric Cave Hand Stencils in Indonesia. Ia mencoba untuk mengidentifikasi jenis kelamin si pembuat lukisan. Leang Petta Kere’ dipilih sebagai lokasi penelitian. Di dalam gua tersebut, terdapat lukisan cap tangan dan lukisan babi hutan. Penelitian menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan aktif dalam pembuatan lukisan di Leang Petta Kere’.
Penelitian tersebut mengacu pada gagasan Jhon T. Manning. Ia menyebut bahwa telapak tangan laki-laki maupun perempuan dapat diketahui melalui ukuran panjang jari telunjuk dan jari manis. Permana dkk mencoba menerapkannya di Leang Petta Kere.
Dalam proses pengaplikasian, cara digunakan pada penelitian tersebut adalah pengambilan data ukuran tangan (sampel) terlebih dahulu. Sampel diambil dari beberapa penduduk desa yang berada di sekitar gua. Asumsinya, penggambar di Leang Petta Kere memiliki satu garis keturunan dengan manusia yang saat ini hidup di sekitar area gua.
Sampel yang diambil terdiri dari 181 orang, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Masing-masing diambil dari tiga desa, di antaranya Desa Leang-Leang, Desa Samanggi, dan Desa Belae.
Proses pengukuran sampel dilakukan dengan dua cara, yaitu teknik konvensional dan teknik outline. Teknik konvensional dilakukan dengan mengukur panjang jari dari bagian ujung. Lalu bagian lipatan jari pada masing-masing jari telunjuk maupun jari manis. Sementara itu, teknik outline dilakukan dengan mengukur panjang jari. Hal itu mengacu dengan garis luar (Web space) jari telunjuk dan jari manis. Meskipun dalam penelitian ini cenderung menggunakan teknik konvensional.
Setelah pengukuran, dilanjutkan dengan analisis rasio. Jumlah rasio merupakan pembagian antara rata-rata ukuran jari telunjuk dan rata-rata ukuran jari manis. Kemudian, diperoleh jumlah rasio yang memperlihatkan perbedaan. Pada ukuran jari kanan dan jari kiri tiap orang, baik itu laki-laki maupun perempuan. Jari kanan perempuan lebih besar dibanding laki-laki, sedangkan jari kiri laki-laki lebih besar dibanding perempuan.
Kesetaraan Gender dalam Lukisan Prasejarah

Berdasarkan hal tersebut, rasio yang telah didapatkan lalu dijadikan acuan dalam mengidentifikasi jenis kelamin terhadap lukisan cap tangan di Leang Petta Kere. Dari 12 lukisan cap tangan, tujuh di antaranya berupa cap tangan laki-laki, tiga tangan perempuan, dan dua lainnya tidak ter-identifikasi. Lukisan cap tangan di Leang Petta Kere rata-rata dibuat dengan menggunakan tangan kanan dengan jumlah sembilan, dan tangan kiri yang berjumlah dua lukisan.
Tanpa melupakan lukisan babi hutan yang juga tertera di dinding Leang Petta Kere. Penelitian tersebut juga menyebut bahwa lukisan babi hutan dianggap berkaitan dengan upacara berburu. Letaknya berdekatan dengan beberapa lukisan cap tangan, dimungkinkan bahwa laki-laki maupun perempuan sama-sama turut andil dalam upacara tersebut.
Upaya dalam mengetahui jenis kelamin melalui lukisan tidak hanya dilakukan di Leang Petta Kere. Sebelumnya pernah dilakukan di beberapa gua di Prancis. Hasil yang diperoleh menunjukkan terdapat empat lukisan cap tangan perempuan dewasa, serta dua lukisan cap tangan laki-laki dewasa dan remaja (Snow, 2006). Chazine dan Noury (2006) juga melakukan penelitian yang sama di Gua Masri II, Kalimantan Timur. Dari 34 lukisan cap tangan, diketahui terdapat 16 lukisan cap tangan laki-laki dewasa, 15 lukisan cap tangan perempuan, dan tiga lainnya tidak teridentifikasi.
Dengan melihat hal tersebut, laki-laki ataupun perempuan dalam menciptakan sebuah karya, dapat dikatakan hampir berimbang. Data yang diperoleh justru memperlihatkan bahwa tidak ada supremasi antara laki-laki dan perempuan. Dalam artian benih-benih konsep egaliter atau kesetaraan juga telah hadir sejak masa itu.