Nalar – Arkeologi Indonesia – Berangkat dipagi hari, tiba saat pertengahan malam. Bokong terasa panas akibat sadel tipis dari si kuda besi yang menambah ujian perjalanan kali ini. Acapkali keluhan muncul sepanjang perjalanan, sontak gurauan dari salah satu kawan yang katanya tak ingin lagi menempuh perjalanan pulang nantinya. Meskipun pada akhirnya dapat bertahan dan sampai pada tujuan yakni di wilayah kaya Budaya Kalumpang, Sulbar.
Bisa dibilang perjalanan ini cukup panjang nan melelahkan. Berpijak dari kota Makassar, transit di kota Mamuju, kemudian melanjutkan perjalanan ke daerah yang dituju, yakni Kalumpang. Selama perjalanan, dijumpai beberapa objek wisata yang sekaligus menjadi ikon ditiap daerah. Misalnya Pantai Ujung Batu yang terletak di Kabupaten Barru, Mall Pinrang Sejahtera di Kabupaten Pinrang, dan beberapa objek lainnya.
Selain itu, keindahan alam juga tak lupa menyapa, hamparan persawahan ada yang sementara musim tanam dan musim panen. Deretan pegunungan karst, perbukitan hujau dengan segala tumbuhan yang menghiasi. Meskipun beberapa dijumpai bagian lahan yang agak gundul dan terlihat tanah longsor akibat dari curah hujan yang tinggi. Hamparan laut yang disertai deru ombak akibat hembusan angin. Tak ketinggalan sunset dengan absurditasnya yang ingin bersua ataupun ingin berpisah.
Landskap Indah Kalumpang
Begitulah secara umum gambaran saat bertolak ke daerah Kalumpang yang jauh dari hingar bingar perkotaan. Kalumpang merupakan salah satu daerah pelosok yang masuk di wilayah adminsitrasi Kabupaten Mamuju. Jarak antara kota Mamuju dengan Kalumpang kisaran 121 KM. Namun di 1/3 perjalanan, akses menuju Kalumpang cukup menantang. Perlu melewati jalanan bebatuan dengan medan yang menantang. Jalanan bebatuan ini bermula ketika memasuki Kecamatan Bonehau (Salah satu daerah menuju Kalumpang).
Saat memasuki jalanan ini, yang terpikirkan ialah kapan jalanan bebatuan ini akan berakhir. Kendaraan yang kami digunakan begitu lamban sehingga kadangkala rasa pegal dibadan tak terhindarkan. Namun, perasaan itu terbayarkan dengan bentang alam yang menyajjikan keindahan sepanjang jalan. Jalan tampak berwarna hijau dengan ragam tanaman dan semak belukar yang bercampur. Dapat menikmati pemandangan saat berada diatas bukit, serta beberapa sungai yang kiranya menjadi nadi kehidupan bagi penduduk setempat.
Memang Kalumpang sekilas terdengar berada di daerah pegunungan atau terletak di sebuah lembah yang dikelilingi oleh gunung-gunung yang tinggi menjulang. Namun dibalik itu, sumber daya alam maupun sumber daya budaya di daerah ini sangat kaya.
Terlepas dari itu, mari sejenak melihat sumber daya budaya Kalumpang. Sementara mengenai sumber daya alam, agaknya kurang elok untuk dibahas lebih lanjut. Jangan sampai nantinya akan mengundang “tuan-tuan” untuk observasi dan sepertinya akan sampai pada tahap eksploitasi. Berbeda dengan sumber daya budaya yang tentunya perlu diperkenalkan kepada khalayak umum guna menambah wawasan pengetahuan. Dapat menjadi bahan refleksi dan diharapkan dapat tumbuh rasa cinta dan apresiasi terhadap budaya khususnya yang terdapat di daerah tersebut.
Sejak Kapan Kalumpang Mulai di Huni ?
Terlepas dari penjelasan mengenai proses perpindahan manusia dari satu wilayah ke wilayah lain. Langsung saja menyinggung mengenai beberapa bukti bahwa Kalumpang pernah menjadi tempat bersejarah. Sekaligus menjadi memori bagi yang pernah bermukim di daerah ini. Titik awalnya bermula ketika ditemukannya sebuah arca Budha oleh penduduk setempat. arca tersebut ditemukan pada saat proses pengerjaan jalan. Selanjutnya, penelusuran oleh seorang peneliti berkebangsaan Belanda yang berhasil menemukan tembikar menjadi ciri atau produk budaya Austronesia. Penutur budaya inilah yang pernah bermukim di Kalumpang. Berangkat dari hal tersebut, Kalumpang mulai disorot dan semakin seksi di mata para peneliti. Seolah-olah menjadi efek domino, akhirnya berbondong-bondong penelitian dilakukan di daerah ini.
Terdapat beberapa titik yang menjadi lokasi pendudukan awal di Kalumpang tepatnya di situs Bukit Kamassi, Minanga Sipakko, dan Sakkara. Namun, berdasarkan hasil survei yang telah dilakukan, masih dijumpai beberapa titik lainnya yang dibagi menjadi empat sektor, diantaranya sektor Tarailu (situs Sikendeng, Latibung, Lemo-Lemo 1,2, dan 3, Bukit Kuo, Pantaraan 1 dan 2, Salo Mabongi, Tembes, dan Kalepu), sektor Tommo (lembah Tommo), sektor Bonehau (situs Sakkara), dan sektor Kalumpang (situs Pattondokan, Salu Makula, Palemba, Kaindoro, Kamassi, dan Minanga Sipakko)
Fakhri, Suryatman, Hakim, & Sardi, 2015).
Dari beberapa titik tersebut, akhirnya berhasil melahirkan sebuah kronik yang dijadikan sebagai acuan dalam merangkai peristiwa yang telah terjadi. Hasilnya menunjukkan bahwa, Kalumpang telah dihuni sejak masa Neolitik dengan kurun waktu 3.800 – 3.000 dan 3.000 – 2.500 tahun silam
Simanjuntak, 2015
Bentuk Adaptasi Budaya Masyarakat Kalumpang
Secara langsung dapat kita saksikan temuan berupa gerabah ber-slip merah, hias, maupun polos. Ada juga beliung persegi, kapak batu, pahat batu, lancipan, alat serpih, obsidian. Bahkan alat perburuan seperti mata tombak, mata panah, alat serut yang terbuat dari batu atau kerang. Perhiasan pada zaman Neolitik seperti liontin, gelang batu dan kaca, kalung dan rajutan kerang, dan manik-manik batu. Sisa-sisa makanan seperti tulang, gigi dan cangkang kerang. Perkakas untuk membuat sebuah produk batu pukul, batu asah, batu pelandas, tatal, manuport, dan batu penggiling. Hingga bahan membuat pakaian seperti alat pemukul kulit kayu dan bahan pewarna.
Beberapa temuan yang diperoleh memperlihatkan keunikan, kreatifitas, dan adaptasi lingkungan pada zaman tersebut. Semuanya dilakukan oleh manusia yang hidup pada saat itu. Misalnya, temuan tembikar yang ditemukan pada lapisan 3.800-3.000 tahun silam. Temuan itu masih didominasi oleh tembikar slip merah. Kemudian pada lapisan yang lebih mudah yaitu kurun waktu 3.000-2.500 tahun silam. Temuan mulai berkurang dan lebih didominasi oleh tembikar yang tebal dan kasar dengan bentuk yang bervariasi. Selain itu juga temuan memiliki motif yang beragam.
Jika merujuk pada hal tersebut, tembikar slip merah yang merupakan ciri khas kebudayaan penutur austronesia perlahan berubah. Mulai terjadi proses penyesuaian dengan sumber bahan yang tersedia. Perubahan tersebut secara tersirat memberitahukan bahwa keterbatasan yang melanda justru bukan menjadi penghalang. Melainkan dapat memicu lahirnya ide-ide yang baru bagi orang-orang dulu
Mahmud, 2019
Bukan hanya tembikar, beberapa temuan lainnya juga memperlihatkan mengenai bagaimana pola adaptasi dan keunikan tersendiri. Hal tersebut terlihat dari aktifitas yang dilakukan oleh penduduk Kalumpang dahulu. Dari peralatan yang digunakan kita ambil contoh beliung persegi. Alat ini digunakan dalam aktifitas bercocok tanam dan diduga pula bahwa digunakan sebagai alat untuk membuat perahu dalam aktifitas pelayaran.
Budaya Kalumpang yang Berlanjut
Kemudian terdapat temuan liontin, yaitu salah satu perhiasan neolitik yang didapatkan di bumi Kalumpang tepatnya di situs Kamassi. Liontin ini terbuat dari batu maupun kerang yang diduga digunakan sebagai simbol identitas dan status sosial masyarakat pada saat itu. Terakhir ialah sisa makanan yang terdiri dari kerang dan tulang. Kerang menjadi salah satu temuan sisa makanan yang hampir dijumpai di setiap situs di Kalumpang. Sedangkan tulang menjadi salah satu sumber energi protein. Semakin menunjukkan bahwa penduduk Kalumpang saat itu tetap melakukan perburuan. Dugaan lain sebagai salah satu penunjang apabila melakukan upacara adat (Mahmud, et al., 2019).
Tidak berhenti sampai disitu, lanjutan peristiwa hunian yang ada di Kalumpang terus berlanjut. Pada masa logam awal atau zaman paleometalik hingga memasuki awal masehi (Fakhri, Suryatman, Hakim, & Sardi, 2015). Eksplorasi lebih lanjut menghasilkan kronik budaya lanjutan, yaitu kurun waktu 2.500 BP-400 AD. Penemuan kerak besi menggambarkan bahwa telah dilakukan pengolahan besi untuk dijadikan sebagai alat. Temuan menarik mata kail besi, semakin memperkuat dugaan bahwa memang terjadi pemanfaatan logam di masa itu (Mahmud, et al., 2019).
Bukti Budaya Neolitik Kalumpang
Memasuki masa yang berbeda, peralatan yang digunakan pada masa neolitik tidak serta merta ditinggalkan. Terbukti masih dijumpai beberapa peralatan yaitu, beliung, mata tombak, batu ike, batu pemukul, batu asah, batu pelandas, dan teknologi pelubang. Perhiasan yang terdiri dari manik-manik, gelang, dan liontin baik yang terbuat dari batu maupun kaca. Tentunya gerabah yang kian melimpah dan memiliki motif yang semakin beragam (Suryatman, Hakim, Fakhri, Saiful, & Hasliana, 2018). Dari sini juga semakin menggambarkan bahwa terjadi kehidupan berlanjut dengan dua fase yang berbeda di Kalumpang.
Berbagai bukti materi yang telah diperoleh dari beberapa penelitian yang dilakukan. Menjadikan Kalumpang sebagai salah satu wilayah yang punya banyak cerita mengenai kehidupan yang telah berlalu. Namun, saat bertolak ke sana. Kami tidak sempat melihat langsung salah satu produk buatan khas penduduk Kalumpang yang sampai saat ini masih diproduksi. Produk ini disebut “Sekomandi” yang merupakan kain tenun tradisional. Kain ini dibuat dengan menggunkan bahan tertentu yang memiliki motif yang khas dan makna tertentu (selengkapnya di liputan6.com).
Tidak bisa dipungkiri, sungguh pengalaman yang luar biasa dapat berkunjung ke Kalumpang. Singkat cerita, di sana kami mengunjungi beberapa titik lokasi yang dahulu menjadi cikal bakal kehidupan di daerah Kalumpang. Lokasi tersebut ialah situs Pattondokan, Salu Makula, dan Palemba. Tentunya kami dapat melihat langsung temuan yang berada di permukaan situs yaitu fragmen gerabah. Selain di permukaan situs, temuan juga dapat dijumpai di bagian dinding sungai yang tersingkap akibat terjangan air. Selebihnya kami tak menemukan temuan yang berbeda akibat rimbunnya rerumputan maupun semak belukar yang terdapat pada setiap permukaan situs.
Robert Eli Sipayo, Sang Penjaga Kebudayaan Kalumpang
Tak hanya itu, saat di sana kami juga sempat berbincang dengan bapak Robert Eli Sipayo. Pak Eli merupakan sang pegiat budaya sekaligus ketua adat di Kalumpang. Ia menceritakan beberapa peneliti yang sempat hadir di wilayah ini dan sedikit berbagi pengetahuan mengenai budaya yang ada di Kalumpang. Kami dibuat takjub oleh ingatan dan seketika terpukau oleh tutur katanya yang cukup fasih dan penjelasan yang mudah dipahami. Meskipun usianya terbilang tak muda lagi, orang ini masih sangat semangat dalam menggaungkan kebudayaan yang ada di Kalumpang.
Namun, ada keresahan yang muncul dari benak pak Eli lantaran seringkali suku Kalumpang disamakan dengan suku Toraja. Padahal seyogianya Kalumpang merupakan suku yang berbeda dan memiliki ciri khas tersendiri. Tak hanya itu, pak Eli sangat mengharapkan nantinya ada anak muda lokal yang bisa memperkenalkan dan melestarikan kebudayaan Kalumpang.
Mungkin itulah sedikit cerita dan upaya dalam memperkenalkan daerah yang sarat akan sejarah. Ibarat sungai Karama yang tampak mengalir deras hingga ke muaranya. Penuh harap kedepannya agar tonggak sejarah dapat tetap diingat dan dijadikan sebagai pelajaran dalam terciptanya kebudayaan yang dinamis.