NALAR – Arkeologi Indonesia – “Gadis Kretek” merupakan sebuah film serial yang sedang hangat diperbincangkan oleh penikmat film di Indonesia. Film serial yang diadopsi dari novel karya Ratih Kumala ini mengisahkan tentang seorang pengrajin wanita bernama Dasiyah “Jeng Yah” yang berjuang melawan sebuah tradisi di dalam industri rokok Indonesia. “Gadis Kretek” berlatar tahun 1960-an dan awal tahun 2000-an. Film serial ini menggunakan plot maju mundur. Cerita dimulai dengan perjalanan Arum dan Lebas dalam misi pencarian Dasiyah pada era 1960-an.
Lima episode film ini berhasil menarik perhatian penikmat film di Indonesia. Beberapa adegan menjadi bahan perbincangan di media sosial. Salah satunya adalah adegan Dian sastro–pemeran Dasiyah–saat mengisap rokok kretek. Kompilasi adegan tersebut viral di X, Instagram, dan Tik Tok. Banyak warganet yang menilai Dian sastro tampak karismatik tiap kali mengisap rokok lengkap dengan ekspresi wajahnya yang dingin.
Stigma terhadap Perempuan Perokok
“Gadis Kretek” memantik ingatan akan stigmatisasi perempuan perokok yang hadir di dalam masyarakat kita. 1Jessica Priscilla Nangoi dan Onesius Otenieli Daeli dalam penelitiannya menjelaskan bagaimana citra perempuan perokok yang masih dianggap negatif oleh masyarakat. Menurut temuannya, bila ada perempuan yang merokok dianggap sebagai sebuah ‘pelanggaran’ atau setidaknya dilabeli ‘nakal’ oleh sebagian masyarakat. Stigma yang sama ditampilkan dengan baik di dalam serial “Gadis Kretek”. Dasiyah yang memiliki mimpi sebagai peracik saus terkenal mengalami diskriminasi oleh orang-orang sekitarnya yang hanya memperbolehkan laki-laki sebagai peracik saus rokok.
Perempuan perokok sangat lekat dengan stigma negatif dalam kesehariannya. Perempuan juga dilarang merokok di ruang publik. Selain itu, rokok juga sangat lekat dengan kesalehan perempuan. Perempuan berjilbab yang merokok dianggap telah menyalahi norma, dan kesalehannya perlu dipertanyakan. Citra negatif perempuan perokok juga semakin diperkuat melalui film-film yang menggambarkan perempuan perokok sebagai remaja nakal atau pekerja seks komersial.
Perlawanan Perempuan Lewat Rokok
Meskipun mendapatkan stigma dari masyarakat tak berarti perempuan perokok lenyap dari ruang publik. Perempuan justru menggunakan rokok sebagai simbol perlawanan. Rokok sebagai simbol perlawanan perempuan dimulai sejak perang dunia pertama. Perempuan yang terlibat dalam upaya perang menggunakan rokok sebagai simbol perlawanan dan kemandirian. Tidak hanya itu, beberapa iklan dan materi propaganda saat itu menggunakan konsep perempuan perokok untuk menyampaikan pesan keberanian, kemandirian, dan kebebasan.
Pada konteks Indonesia tepatnya tahun 1930-an, terjadi kemerosotan ekonomi yang menyebabkan krisis. Hanya industri rokok kretek yang masih bertahan dan eksis. Perkembangan pendidikan pada masa itu memberikan pengaruh terhadap pola pikir masyarakat pribumi, khususnya perempuan yang mendambakan kebebasan ditengah tradisi yang masih mengakar saat itu.
Perlawanan yang ditunggangi oleh industri rokok menjadi hal yang tidak mampu dihindari. 2Windi Riani Lestari dalam tulisannya “Perempuan Pribumi dalam Iklan Rokok di Hindia Belanda Tahun 1932-1940” menjelaskan bahwa kemunculan perempuan dalam iklan rokok bertujuan untuk menarik minat masyarakat agar membeli produk yang ditawarkan. Lebih lanjut, Windi menjelaskan iklan-iklan rokok yang menampilkan sosok perempuan pribumi pada saat itu digambarkan dengan mengenakan kebaya, kain, dan bersanggul yang memegang selinting rokok di tangan. Sosok perempuan yang ditampilkan iklan rokok kretek digambarkan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki, terutama dalam mengisi waktu luang dan santai mereka dengan merokok.
Tantangan Perlawanan
Niken Wresthi dalam tulisannya “Rokok itu Berjenis Kelamin Laki-laki” menjelaskan bahwa rokok lekat dengan maskulinitas sehingga telah mengurangi nilai perempuan sebagai individu yang bebas. Dengan demikian, kehadiran perempuan yang merokok dimaknai sebagai perlawanan terhadap superioritas lelaki. Namun, perlawanan yang dilakukan oleh perempuan nyatanya banyak dikritisi. Hal ini terjadi karena industri tembakau memanfaatkan perempuan perokok sebagai alat pemasaran.
Industri rokok yang membonceng konsep perlawanan perempuan perokok telah memanipulasi makna perlawanan pada ketidakadilan gender. Industri rokok memanfaatkan momentum gerakan feminis gelombang pertama di Amerika Serikat. Selama beberapa dekade terakhir, perempuan telah dibombardir oleh iklan dan pemasaran yang menargetkan mereka.
Beban perempuan dalam keluarga, pekerjaan, dan masyarakat patriarkal ini membuat perempuan cenderung menggunakan rokok sebagai strategi untuk mengatasi stress. Pada titik ini, perilaku merokok bukan lagi tentang kebebasan berekspresi dan perlawanan terhadap penindasan. Namun, makna perlawanan perempuan perokok telah menjadi objek eksploitasi korporasi besar, seperti perusahaan tembakau.
Referensi:
- Studi Etnografi Tentang Stigmatisasi dan Konformitas Perempuan Perokok dalam Budaya Patriarki | Jessica Priscilla Nangoi – Academia.edu ↩︎
- Perempuan pribumi dalam iklan rokok di Hindia-Belanda tahun 1932-1940 = Indigenous women in cigarettes advertisement in Dutch Indies in 1932-1940 / Windi Riana Lidiawati (ui.ac.id) ↩︎