Korupsi di Indonesia: Dari Zaman Kerajaan Hingga Warisan Kolonial

Related Articles

Korupsi di Indonesia bukan hal baru yang muncul tiba-tiba setelah negara ini merdeka. Sebenarnya, akarnya sudah ada sejak ratusan tahun lalu, mulai dari zaman kerajaan, diperparah saat zaman kolonial Belanda, hingga berlanjut ke masa kini. Berdasarkan penelitian dari Ronald Kroeze berjudul Colonial Normativity? Corruption in the Dutch-Indonesian Relationship dan dari studi dampak kolonialisme, korupsi ternyata seperti benang merah yang menghubungkan masa lalu dan sekarang. Lalu bagaimana korupsi di Indonesia tumbuh, mengapa sulit hilang, dan apa hubungannya dengan sejarah kita.

(Source: The National Archives of the Netherlands)

Awal Mula Korupsi ala Patrimonialisme

Sebelum Belanda datang, Nusantara dipenuhi kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram. Di zaman itu, raja dan bangsawan punya kebiasaan yang disebut patrimonialisme, yaitu menganggap kekayaan negara sebagai milik pribadi. Mereka sering memakai harta untuk menyenangkan keluarga atau menjaga kesetiaan para pembesar. Menurut (Fida Amalia, 2022) ini mirip seperti feodalisme di Eropa. Meski begitu, ada aturan adat yang menjaga agar tidak kelewatan, seperti musyawarah atau tekanan dari rakyat. Jadi, meskipun ada penyalahgunaan, belum tentu disebut “korupsi” seperti yang kita kenal sekarang.

Korupsi Mulai Terorganisir

Ketika VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) datang pada tahun 1602, korupsi mulai berubah wajah. (Ronald Kroeze, 2021) menyatakan bahwa pejabat VOC sering berdagang rempah-rempah untuk keuntungan pribadi, padahal tugas mereka untuk perusahaan. Awalnya, ini dianggap wajar sebagai “bonus”, tapi lama-lama jadi bencana. VOC pun bangkrut pada 1799 karena korupsi ini, ditambah lagi dengan monopoli perdagangan yang bikin pengawasan lelet. Orang-orang lokal, seperti priyayi Jawa, juga diajak kerja sama untuk nyogok dan memastikan barang sampai ke Belanda. Dari sini, korupsi menjadi lebih terstruktur dan melibatkan banyak pihak.

Puncak Korupsi Zaman Kolonial

Masuk ke abad 19, Sistem Tanam Paksa (1830-1870) jadi sorotan besar. Sistem ini diperkenalkan Johannes van den Bosch untuk nyari duit cepat buat Belanda yang lagi susah setelah perang. Petani Jawa dipaksa tanam kopi, tebu, dan nila buat ekspor, tapi gajinya kecil banget atau bahkan nggak dibayar. (Kroeze, 2021: 181) dan (Fida Amalia, 2022) bilang, di sinilah korupsi jadi “alat kerja”. Pejabat Belanda sama bupati lokal sering curang ngambil hasil panen buat dijual sendiri atau maksa petani bayar pajak ekstra.

( Source : Independence, Decolonization, Violence and War in Indonesia 1945-1950 program IDVWI)

Buku Max Havelaar karya Multatuli menceritakan betapa parahnya korupsi. Misalnya, bupati di Lebak ambil ternak rakyat seenaknya, tapi pejabat Belanda pura-pura nggak tahu biar situasi stabil. Sistem ini bikin Belanda untung besar ratusan juta gulden tapi rakyat Jawa malah kelaparan. Budaya korupsi jadi makin kuat karena semua pihak, dari atas sampe bawah, ikut main

Korupsi Berubah Bentuk

Setelah tanam paksa berakhir di 1870-an, Belanda mencoba gaya baru lewat periode Liberal. Banyak perusahaan swasta masuk, tapi korupsi nggak hilang-hilang. (Kroeze, 2021:185) cerita soal Skandal Billiton (1882-1892), di mana konsesi tambang timah dikasih ke perusahaan tanpa izin parlemen, pake suap dan kecurangan. Lalu, ada Kebijakan Etis di 1901 yang katanya mau bantu rakyat dengan pendidikan dan infrastruktur. Tapi, ternyata itu cuma janji manis. Banyak duit proyek malah dikorupsi, dan rakyat biasa tetep miskin. Korupsi nggak lagi kasar seperti dulu, tapi jadi lebih “halus” lewat birokrasi dan kontrak bisnis.

(Workers harvesting crops in a Dutch East Indies’ plantation. Leiden University Library/Wikimedia, CC BY)

Pas Indonesia merdeka tahun 1945, kita dapat “bonus” birokrasi korup dari Belanda. (Fida Amalia, 2022) pola patrimonialisme lama hidup lagi menjadi neo-patrimonialisme. Soekarno dan Soeharto, misalnya, pake kekuasaan buat kasih keuntungan ke keluarga atau temen deket mirip bupati zaman Belanda. Korupsi kecil, kayak suap di kantor kelurahan, juga nggak hilang karena hukumnya lelet dan lemah, warisan dari sistem Belanda yang nggak serius bikin aturan kuat.

Korupsi dan Identitas Kita

Nggak cuma sistem, identitas kita sebagai bangsa juga kena dampak. Soekarno sering teriak anti-Barat, tapi kita malah pakai birokrasi Barat yang gampang dikorupsi. Data dari Transparency International (2023) bilang skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia cuma 37 dari 100 artinya kita masih jauh dari bersih. Reformasi 1998 bawa harapan, tapi seperti kata Kroeze, “pluralitas norma” (aturan yang beda-beda antara pusat dan daerah) bikin korupsi susah dibereskan.

Kenapa Korupsi Susah Hilang?

Jadi, kenapa korupsi di Indonesia bandel banget? Pertama, dari zaman kerajaan, kita udah biasa sama patrimonialisme. Kedua, Belanda bikin sistem yang sengaja kasih celah buat korupsi, kayak tanam paksa sama konsesi swasta. Ketiga, pasca-merdeka, kita nggak bener-bener ganti sistem lama, malah lanjutin pola yang udah rusak. Hukum yang lemah dan budaya “kasih upeti” dari dulu juga nambah parah.

Buat ngatasin ini, nggak cukup cuma bikin hukum baru. Kita perlu ganti cara pikir dan bikin sistem yang bener-bener adil. Belajar dari sejarah, korupsi nggak bakal hilang kalau cuma nyanyi lagu “bersih-bersih” tanpa ubah struktur dari akarnya.

Referensi:

Angeles, L. and Neanidis, K. (2014). The Persistent Effect of Colonialism on Corruption Economica

Ronald Kroeze (2021). Colonial Normativity? Corruption in the Dutch-Indonesian Relationship in the Nineteenth and Early Twentieth Centuries

Fida Amalia (2022). The Extractive Institutions as Legacy of Dutch Colonialism in Indonesia

Independence, Decolonization, Violence and War in Indonesia 1945-1950 program IDVWI

Workers harvesting crops in a Dutch East Indies’ plantation. Leiden University Library/Wikimedia, CC BY

UGM (2022) Corruption And Norm- Setting In Late-Colonial And Postcolonial Indonesia

More on this topic

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Advertisment

Popular stories