Situs Liyangan: Pemukiman Kuno Di Balik Letusan Gunung Sindoro

Related Articles

TEMANGGUNG,  menjadi wilayah  yang sangat penting dalam sejarah peradaban di Indonesia. Daerah di Provinsi Jawa Tengah ini, menyimpan segudang kisah masa lalu. Beruntungnya, bukti-bukti peradaban itu masih bisa dijumpai saat ini. 

Nama besar Kerajaan Mataram Kuno begitu lekat dengan Kabupaten Temanggung. Sehingga, berbagai penelitian yang telah dilakukan berhasil memperlihatkan beberapa tinggalan yang berkorelasi dengan Kerajaan Mataram Kuno.

Kronologinya, dimulai awal tahun 2000-an terdapat satu perkampungan kecil yang menjadi tempat ditemukannya sebuah struktur batu. Sontak, warga setempat pada saat itu kebingungan dan tidak mengetahui perihal mengenai sisa bangunan tersebut. Lokasi awal penemuan struktur batu, berada di halaman rumah warga, tepatnya di Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung. Mendengar hal tersebut, tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta langsung mendatangi lokasi tersebut. Setelah dilakukan pengamatan, diketahui bahwa struktur batu berasal dari balok-balok batu yang disusun secara vertikal. Peneliti memperkirakan jika temuan tersebut kemungkinan merupakan tinggalan dari Kerajaan Mataram Kuno. 

Delapan tahun berselang, jejak peradaban kembali ditemukan melalui aktivitas penambangan yang beroperasi di Dusun Liangan. Tinggalan arkeologis kembali mencuat dengan ditemukannya talud, beberapa bagian dari candi, arca, yoni, serta fragmen keramik ataupun tembikar. Dengan begitu, tim dari Balai Arkeologi Yogyakarta kembali melakukan peninjauan dan menyusun rencana penelitian yang berkelanjutan di situs tersebut. Pihak dari Balai Arkeologi Yogyakarta menilai, beberapa temuan tersebut merupakan hasil kebudayaan dari Kerajaan Mataram Kuno terutama pada abad ke IX-X Masehi (Riyanto, 2015).

Seiring dengan berjalannya waktu, riset mendalam terus dilakukan di Situs Liyangan. Peneliti beranggapan, situs tersebut memiliki periode yang sama dengan Kerajaan Mataram Kuno dan diperkuat dengan adanya jejak kehidupan yang begitu kompleks. Tinggalan artefaktual yang didapatkan memperlihatkan beberapa aspek kehidupan, mulai dari aspek hunian, mata pencaharian, dan aspek religi.

Jejak Hunian di Situs Liyangan

Pemilihan tempat untuk bermukim tidak hanya dipilih begitu saja. Pastinya akan selalu ada uji kelayakan. Misalnya di lingkungan tertentu harus dilengkapi beberapa komponen, mulai dari sumber mata air, sumber makanan, keamanan, jalur transportasi, tanah yang subur, dan ketersediaan bahan-bahan alami yang dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari. Secara tidak langsung, Situs Liyangan dan Gunung Sindoro telah memperlihatkan kondisi yang demikian. Letaknya yang berada di lereng, kemudian diapit oleh dua buah sungai (Kali Progo dan Kali Deres), membuat manusia yang hidup pada masa itu menciptakan sebuah tatanan lokasi berupa teras-teras yang dilengkapi dinding balok dari batuan beku, seperti andesit, basal, tufa, dan granodiorit. 

Aktivitas hunian semakin diperkuat dengan temuan bangunan yang disinyalir sebagai rumah tinggal. Dari hasil analisis menunjukkan bila temuan tersebut terdiri dari kayu, bambu, dan ijuk. Ketiga bahan tersebut memiliki fungsi masing-masing. Kayu difungsikan sebagai tiang, lantai, dan kerap digunakan sebagai dinding. Bambu, digunakan sebagai bahan dinding yang dianyam dan digunakan sebagai rangka atap. Ijuk difungsikan sebagai atap dan tali yang biasanya dipakai untuk mengikat konstruksi bangunan. Berdasarkan hasil rekonstruksi, bangunan tersebut memiliki panjang 5-6 meter dan lebar 3 meter. Bentuk bangunan menyerupai panggung, terdiri dari 16 tiang utama yang masing-masing memiliki 4 tiang pada tiap sisinya.  

Selain itu, temuan lain yang menunjukkan aktivitas hunian ialah berbagai peralatan rumahan. Di Situs Liyangan, arkeolog berhasil menemukan berbagai alat penunjang dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai wadah yang ditemukan, baik yang terbuat dari tanah liat maupun logam dapat dilihat di situs tersebut, di antaranya kendi, periuk, mangkok, teko, piring, dan guci.

Bukan hanya itu, berbagai peralatan lainnya yang tak kalah menarik ialah celupak sebagai alat penerang yang terbuat dari tanah liat, pipisan dan gandik untuk menghaluskan biji-bijian, manik-manik batu yang berfungsi sebagai perhiasan, dan sisa kain yang diduga sebagai salah satu bahan pakaian yang digunakan oleh manusia yang pernah hidup di wilayah ini.

Mata Pencaharian

Manusia yang pernah bermukim di Situs Liyangan juga tampak melakukan aktivitas pertanian. Bukti arkeologis yang dapat dilihat, di antaranya artefak logam yang terdiri dari sabit dan parang, sisa-sisa padi, saluran air, dan gundukan tanah yang merupakan salah satu teknik yang digunakan dalam proses pertanian.

Guna memastikan hal tersebut,  Catillo, kemudian menelusuri sisa padi-padian yang ditemukan di situs tersebut. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sisa padi berasal dari abad IX Masehi. Tipe padi tersebut merupakan tipe yang didomestikasi dan dikenal dengan nama “Japonica.”

Religi

Sistem kepercayaan merupakan salah satu unsur yang tak terpisahkan dalam kebudayaan. Begitupun dengan yang terlihat di Situs Liyangan. Dari segi konsep kepercayaan, Riyanto dalam tulisannya menyebutkan bahwa sebelum adanya pengaruh Hindu-Budha, orang-orang Liyangan masih menganut kepercayaan asli, yaitu kepercayaan terhadap alam. Mereka beranggapan jika posisinya cenderung tinggi maka dianggap semakin suci. 

Memasuki abad 6-8 Masehi, perlahan konsep kepercayaan asli mendapat pengaruh dari konsep kepercayaan Hindu-Budha. Bahkan, semakin kesini sistem kepercayaan yang dianut lebih didominasi unsur-unsur Hindu Budha tanpa menghilangkan kepercayaan asli (menunjukkan adanya perpaduan). Oleh karena itu, objek yang awalnya berupa undakan teras, kemudian perlahan mengalami perubahan yang ditandai dengan adanya bangunan candi, arca, lingga, yoni, dan nandi.

*****

Variabilitas temuan yang dijumpai di Situs Liyangan sangat membantu dalam upaya penelusuran kehidupan yang pernah berlangsung di wilayah tersebut. Situs tersebut memberikan gambaran jika roda-roda kehidupan di Situs Liyangan terus berjalan bahkan sebelum memasuki era Kerajaan Mataram Kuno. Hasil yang diperoleh menunjukkan masa yang lebih awal, yaitu pada abad ke-VI. Setelah itu berlanjut hingga memasuki masa Kerajaan Mataram Kuno pada abad ke VIII-X Masehi (Riyanto, 2020). 

Memasuki paruh awal abad ke-XI, letusan Gunung Sindoro meluluhlantakkan semuanya. Permukiman tenggelam oleh semburan material yang keluar dari mulut gunung. Hasil kajian geologis menunjukan bahwa di sekitar situs ini terdapat endapan piroklastik yang begitu tebal sehingga mengindikasikan telah terjadi letusan yang berulang kali . Selain itu, hasil kajian ini memperoleh data potensi bencana yang sering terjadi, yaitu gempa vulkanik, aliran piroklastik, awan panas, lahar dingin, lahar panas, dan aliran lava (Riyanto, 2015).  Namun, dengan tingkat ancaman tersebut, penduduk yang pernah bermukim di wilayah ini telah memprediksi bahwa akan tiba masa di mana wilayah ini sudah tidak cocok untuk dihuni kembali (Riyanto, 2020). 

Layaknya roda yang terus berputar, jejak peradaban yang pernah ada di wilayah tersebut kian tersingkap seiring dengan penelitian yang semakin intens dilakukan. Akan tetapi, dengan mengetahui kejadian pada masa silam, tentu ini akan menjadi pembelajaran yang begitu berharga untuk menyongsong “roda kehidupan” yang terus bergerak ini. Tinggalan budaya yang saat ini ditemukan, baiknya sangat perlu untuk dijaga kelestariannya.

More on this topic

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Advertisment

Popular stories