Coretan di Leang Panninge

Related Articles

Menguraikan Kembali Bentuk Vandalisme atau Ekspresi Masyarakat Modern Ketika Berkunjung Ke Leang Panninge

Manusia memiliki beragam cara dalam mengekspresikan hal-hal yang tengah dirasakan. Ada yang gemar mendengarkan musik, berolahraga, bernyanyi, nonton film, menggambar, dan berbagai aktivitas lainnya. Namun tahukah kalian? para leluhur dahulu punya cara tersendiri dalam mengemukakan ekspresinya.

Sebelum memasuki era modern, dahulu manusia punya cara tersendiri dalam mengekspresikan atau menggambarkan aktivitas dan lingkungan hidupnya. Mereka menerapkannya melalui sebuah lukisan dengan media berupa kanvas batu atau dinding-dinding gua. Oleh karena itu, dalam dua dekade terakhir lukisan gua kian marak diperbincangkan akibat masifnya penelitian dan adanya penemuan terbaru mengenai lukisan gua.

Perwujudan Ekspresi Melalui Lukisan Gua

Lukisan gua, Seni Cadas, atau Rock Art, merupakan salah satu maha karya manusia prasejarah yang spektakuler. Memiliki bentuk yang bervariasi, mulai dari bentuk cap tangan, hewan, dan berbagai pola garis, seperti lingkaran, garis vertikal maupun horizontal, gelombang, dan lain-lain. Selain itu, makna dibalik lukisan selalu menjadi daya tarik sehingga memicu teka-teki bagi mereka yang melihatnya.

Penelitian terbaru mengungkap bahwa lukisan yang tertera pada dinding-dinding gua merupakan seni cadas tertua yang diciptakan oleh manusia yang hidup sekitar 40.000 hingga 60.000 tahun yang lalu. Karya nenek moyang tersebut seolah menampilkan sebuah cerita tentang interaksi manusia dan hewan. Tidak hanya itu, lukisan tersebut bahkan menggambarkan pola tingkah laku manusia yang hidup pada saat itu.

Lukisan gua juga seringkali dianggap sebagai cara para leluhur dalam menyampaikan rasa, pengalaman, dan harapan hidup mereka. Lukisan bahkan diyakini sebagai cara untuk berkomunikasi dan melangitkan harapan dengan Sang Pencipta.

Perwujudan Ekspresi Manusia Modern yang Berujung Pada Perilaku Vandalisme

Cara manusia modern dalam mengemukakan ekspresi justru sangat jauh berbeda dengan cara para leluhur dahulu. Kira-kira seperti apa yah? Bagi kalangan anak muda, mereka lebih banyak mengekspresikan perasaan maupun aktivitasnya di sosial media, yaitu melalui gawai atau gadget masing-masing.

Tidak hanya itu,masyarakat modern terkadang menghabiskan waktu untuk berlibur di tempat wisata. Mereka menikmatinya dengan melakukan swafoto, menikmati panorama alam, ajang family gathering, dan berbagai aktivitas lainnya. Akan tetapi, kunjungan tersebut terkadang melampaui batas dan termasuk dalam kategori merusak.

Di Indonesia, tindakan demikian “merusak”, merupakan hal yang lumrah. Tindakan tersebut dikenal dengan istilah Vandalisme (Vandalism). Bentuk vandalisme sangat berdampak terhadap fungsi, bentuk, bahkan nilai dari sebuah objek. Artinya, orisinalitas dari objek tersebut dianggap berkurang akibat adanya perilaku-perilaku vandalisme yang dilakukan oleh oknum tertentu.

Perilaku vandalisme kini juga terjadi pada objek peninggalan masa lalu, terutama objek yang telah berstatus sebagai objek pariwisata. Pengunjung terkadang melakukan tindakan yang dapat mengurangi nilai keindahan, bentuk, bahkan nilai budaya dari objek tersebut. Mencorat-coret dinding bahkan merusak fasilitas, merupakan tindakan yang paling sering dilakukan. Misalnya yang terjadi pada Taman Arkeologi Leang-Leang, Objek Peninggalan Sejarah di Lebong Tandai, Kawasan Kota Lama Semarang, Benteng Pandem, dan berbagai peninggalan bersejarah lainnya.

Kedudukan Leang Panninge di Masa Silam

Leang Panninge (Liang Panning), adalah salah satu objek peninggalan bersejarah yang banyak memberikan sumbangsih terhadap perkembangan riset di indonesia. Bagaimana tidak, penelitian yang telah dilakukan sejak tahun 2015 hingga tahun 2024 ini, telah berkontribusi dalam memberikan pemahaman mengenai DNA manusia yang hidup sekitar 7200 tahun yang lalu. Penemuan tulang manusia berjenis kelamin perempuan yang dikenal dengan nama rangka “Besse”, merupakan hasil percampuran antara manusia yang berasal dari Papua, penduduk asli Australia (Aborigin), dan manusia yang pernah hidup di bagian utara Siberia (Denisovan).

Tidak hanya itu, Leang Panninge merupakan objek yang begitu penting bagi mereka yang hidup pada era itu. Manusia bermukim dan menjadikan Leang Panninge beserta lingkungan sekitarnya sebagai tempat berburu serta memanfaatkan bahan yang ada untuk dapat bertahan hidup. Hal tersebut dapat dilihat dari perilaku mengonsumsi babi sebagai salah satu strategi untuk bertahan hidup dan penggunaan alat batu berupa serpihan batu yang terdiri dari Maros Point dan Mikrolit. Pada tahun 2022, temuan gigi hiu yang ditemukan di Leang Bulu’ Sipong 1 dan Leang Panninge menambah data baru tentang penggunaan gigi hiu sebagai salah satu peralatan yang digunakan oleh manusia pendukung yang pernah bermukim di wilayah Kawasan Karst Maros-Pangkep, terutama di Leang Bulu Sipong 1 dan Leang Panninge. Hal tersebut sekaligus memperkuat kedudukan Leang Panninge sebagai objek hunian yang sangat penting dalam cakupan khazanah pengetahuan prasejarah di Pulau Sulawesi.

Gambaran Terkini Tentang Leang Panninge

Leang Panninge terletak pada daerah yang jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Berada di ujung timur laut Kabupaten Maros, Kecamatan Mallawa. Mallawa adalah salah satu daerah yang terdiri dari kawasan perbukitan dan termasuk kategori dataran tinggi. Perjalanan dari Kota Maros memaksa kita untuk menempuh perjalanan yang berkelok-kelok dan bergelombang. Oleh karena itu ketika hendak berkunjung ke lokasi tersebut, kondisi kendaraan harus dipastikan stabil, terutama pada bagian rem yang mesti berfungsi dengan baik.

Leang Panninge berada di perbatasan antara Desa Batu Putih dan Desa Wanuawaru. Dari jalan poros Maros-Bone, kita harus menempuh jarak 1,74 km ke arah Selatan melalui jalan lokal yang menghubungkan Desa Batu Putih, Desa Gattareng Matinggi, dan Desa Wanuawaru. Sepanjang perjalanan, anda akan melewati pemukiman, bukit-bukit yang kini telah penuh dengan tanaman jagung, lembah, areal perkebunan, kolam ikan buatan, dan gugusan karst.

Spanduk bertuliskan “Leang Panning Park” menjadi objek yang pertama yang akan dilihat setelah tiba di sebuah gerbang yang dilengkapi dengan deretan pagar besi. Seperti yang diketahui, Leang Panninge saat ini tidak hanya sebagai tempat bersejarah. Melainkan objek ini telah didesain sebagai tempat wisata. Setelah memasuki gerbang, anda akan disambut anak tangga beserta gugusan karst yang memanjang layaknya koridor.

Pengunjung harus berjalan kaki sekitar 50 meter untuk sampai di mulut gua, menyusuri gugusan karst dan berjalan menurun melewati jalan setapak. Selang beberapa menit kemudian, anda akan tiba di mulut gua Leang Panninge. Terlihat di sana tampak sebuah gazebo, papan informasi tentang profil Leang Panninge, beserta aturan yang mesti dipatuhi ketika berkunjung pada objek tersebut.

Leang Panninge dari sisi depan

Seketika anda akan melihat sebuah lorong yang gelap, ornament gua berupa stalaktit, stalagmit, flowstone, boulder dan pilar gua pada sisi depan gua. Pada permukaan tanah anda akan melihat ratusan pecahan batu yang tampak mengkilap dengan bentuk yang bervariasi. Memiliki tajaman pada tiap sisi dan terdapat jejak pemangkasan. Fenomena tersebut terkadang membuat kita berpikir jika batuan tersebut merupakan bagian dari dinding gua (batuan karst). Namun setelah diamati secara saksama, nampaknya pecahan batu yang terdapat di permukaan tanah sangat berbeda dengan jenis batuan karst. Batuan tersebut merupakan batuan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia yang pernah bermukim di Leang Panninge.

Lebar mulut gua sekitar 15 meter dengan tinggi atap atau langit-langit gua berkisar 3-7 meter dari permukaan tanah. Sementara panjang lorong gua sekitar 35 meter. Ketika memasuki lorong gua, anda akan ditemani oleh penerangan berupa LED obor yang telah dipasang oleh pihak pengelola pariwisata Leang Panninge. Hal tersebut tentunya semakin menambah daya tarik pengunjung untuk bisa merasakan sensasi di lorong gua Leang Panninge.

Tidak hanya itu, di sisi selatan lorong gua anda akan menjumpai sebuah ornament gua “gourdam” yang membentuk sebuah kolam kecil yang sangat indah dan bertingkat-tingkat. Gourdam tersebut akan terisi air pada saat musim hujan. Kemudian di sisi utara, anda akan menemukan sebuah lorong gua lainnya yang akan mengantar anda ke ruang yang gelap abadi (lorong buntu). Di sepanjang lorong utama gua yang tembus hingga pintu kedua, tersebar bongkahan boulder, pilar, dan stalagmit.

Leang Panninge sejauh ini telah menjadi objek yang sangat menarik dan mempunyai potensi pariwisata yang menjanjikan. Hal itu dapat dilihat dari pembangunan infrastruktur yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2024, pihak pengelola telah memasang router untuk memperluas area jangkauan jaringan internet. Upaya tersebut dilakukan agar dapat mempermudah pengunjung untuk berkomunikasi dan mengakses media sosial karena memang jangkauan internet di Leang Panninge pada tahun sebelumnya sangat terbatas. Selain itu, berbagai fasilitas lainnya yang terdiri dari gazebo, anjungan, villa, café, dan berbagai fasilitas lainnya dari tahun ke tahun perlahan mulai dibangun dan dikembangkan.

Potensi lainnya yang membuat Leang Panninge semakin dilirik ialah adanya destinasi wisata lain seperti river tubing dan panorama alam. Para pengunjung dapat menikmati arus Sungai Walennae yang mengalir hingga lorong gua yang berada sisi barat dan sisi selatan Leang Panninge. Oleh karena itu, pengunjung juga dapat menyusuri lorong gua sambil bermain ban karet. Menikmati gua yang didalamnya dipenuhi kelelawar, dan stalaktit yang masih sangat aktif. Selain itu, panorama alam yang ada di puncak Desa Wanuawaru juga tak kalah menggugah. Pengunjung dapat menikmati suasana yang sangat sejuk dengan lanskap alam yang terdiri perbukitan, tatanan pemukiman, areal persawahan maupun perkebunan, lembah, dan lekukan sungai. Di puncak tersebut tentunya sangat cocok untuk mengabadikan momen, baik berupa foto maupun video.

Coretan (Vandalisme) di Leang Panninge

Jika lukisan gua menjadi salah satu karya yang banyak tersebar di gua-gua prasejarah Maros-Pangkep, di Leang Panninge justru hanya berupa kumpulan coretan yang tersebar di setiap dinding-dinding gua. Istilah coretan dipilih untuk mendefinisikan bentuk vandalisme di Leang Panninge. Mengapa? Karena coretan adalah istilah yang mewakili segala perilaku menulis dan menggambar di Leang Panninge yang tidak jelas maksud dan tujuannya.

Coretan berupa informasi asal daerah pada dinding gua Leang Panninge

Coretan di Leang Panninge terdiri dari gambar dan tulisan. Terdiri dari gambar manusia dan gambar lainnya yang terbilang abstrak. Sementara coretan berupa tulisan, terdiri dari nama, asal daerah, tanggal lahir, nama pasangan, dan berbagai tulisan lainnya yang mengisyaratkan identitas dari Si Pembuat coretan.

Ragam warna coretan di Leang Panninge

Coretan tersebut dominan berwarna hitam. dibuat dengan menggunakan bahan dari arang, spidol, dan cat. Tulisan yang terbuat dari cat, memiliki warna yang berbeda, misalnya, warna hijau, abu-abu, dan coklat. Tulisan yang cenderung menggambarkan identitas lokal Si Pembuat, mengarahkan kita pada suatu pandangan bahwa yang membuat coretan berasal dari daerah yang berbeda-beda. Misalnya terdapat tulisan yang menunjukkan lokasi atau nama daerah yang berasal dari Kabupaten Bone, Sulawesi Tengah, Zipur (Kecamatan Moncongloe, Maros), Dojong (Desa Gattareng Matinggi, Mallawa), Segeri (Pangkep), Kampung Assarajangnge (Mallawa), dan mungkin masih banyak dari berbagai lokasi lainnya yang belum sempat diamati.

Coretan berwarna hitam pada dinding gua di Leang Panninge

Selain itu, dari coretan tersebut kita bisa memperoleh informasi mengenai latar belakang dari Si Pembuat, misalnya mereka dari kalangan SMA, SMP, Secapa atau Setukpa, dan Remaja Masjid. Kemudian informasi lainnya ialah, tanggal lahir yang juga kerap tuliskan, perkataan tak senonoh, dan nama pasangan masing-masing.

Coretan yang memuat nama dan tanggal lahir

Kecenderungan coretan yang berupa tulisan maupun gambar, memperlihatkan jika Si Pembuat justru hanya ingin memperlihatkan eksistensi mereka. Kemungkinan hal tersebut dijadikan sebagai satu kenangan bahkan sebuah tanda bahwa mereka telah berkunjung ke tempat tersebut.

Coretan berupa nama sepasang kekasih yang pernah berkunjung di Leang Panninge

Mungkin dahulu coretan itu merupakan aktivitas yang telah menjadi kebiasaan masyarakat yang tengah berkunjung di Leang Panninge. Namun saat ini, coretan tersebut justru dinilai sebagai sebuah tindakan yang merusak (Vandalisme). Dari sekian banyaknya informasi tambahan pengetahuan mengenai kehidupan prasejarah di Leang Panninge, kini objek tersebut memiliki nilai kebudayaan yang sangat penting. Bahkan objek tersebut saat ini telah dilindungi oleh Undang-Undang Cagar Budaya. Dalam aturan tersebut, tertulis jelas larangan untuk melakukan tindakan yang dapat merusak atau mengurangi nilai dari objek cagar budaya.

Banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya vandalisme. Bisa saja ditengarai oleh keinginan untuk menyalurkan ekspresi semata, sekaligus ajang eksistensi diri. Selain itu, masyarakat kurang memahami pentingnya menjaga kelestarian dari sebuah objek cagar budaya. Namun secara keseluruhan, jika membandingkan dengan kebiasaan leluhur kita yang banyak menciptakan lukisan pada dinding-dinding gua, kemungkinan tindakan tersebut merupakan salah satu perilaku yang serupa. Dan lagi-lagi, kebiasaan itu telah mengakar pada diri manusia atau masyarakat modern untuk senantiasa menyalurkan ekspresi yang tengah dirasakan.

References

  • Analisa, F. (2018). Dampak Revitalisasi Terhadap Aktivitas Vandalisme di Kawasan Kota Lama Semarang. 98Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 12, Nomor 2 , 97-103.
  • Carlhoff, S., Duli, A., Nägele, K., Nur, M., Skov, L., Sumantri, I., . . . Riri, M. (543–547 ). Genome of a middle Holocene hunter-gatherer from Wallacea. Nature volume 596, 2021.
  • Darwanto, A., Nurmarwaa, S., & Surachman, V. A. (2023). Mengendalikan Aksi Vandalisme Terhadap Situs Benteng Pendem Dengan Menggunakan Kuburan Palsu. Prabayksa: Journal Of History Education, 10-15.
  • Langley, M. C., Duli, A., Stephenson, B., Nur, M., Matherson, C., Burhan, B., . . . Brumm, A. (2023). Shark-tooth artefacts from middle Holocene Sulawesi. Antiquity, 1-16.
  • Oktaviana, A. A., Joannes-Boyau, R., Hakim, B., Basran Burhan, R. S., Adhityatama, S., Hamrullah, . . . Ri, M. N. (2024). Narrative cave art in Indonesia by 51,200 years ago. Nature volume 631, 814–818 .
  • Pasmawati, H. (2023). Vandalisme pada Benda Peninggalan Sejarah di Lebong Tandai Batavia Kecil Bengkulu: Studi pada Perilaku Masyarakat antara Kreatifitas dan Penyimpangan. Jurnal Ilmu Sosial, 104-115.
  • Saiful, A. M., & Anggraeni. (2019). Eksploitasi Suidae Pada Kala Holosen di Leang Panninge, Maros, Sulawesi Selatan. PURBAWIDYA Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi 8(2):, 81-100.
  • Wiekojatiwana, A. B., R, A. I., & Buamona, F. A. (2021). Analisa Penyebab Vandalisme Pada Pedestrian di Surabaya (Studi Kasus Jalan Soekarna-Hatta dan Jalan Rungkut Madya). Sinektika, Jurnal Arsitektur, 101-106.
  • Yusriana, Hamda, I. A., Syahrul, M., Rante, M., Rosmawati, & Muda, K. T. (2022). Vandalisme Pada Situs Taman Arkeologi Leang-Leang Maros Sebagai Dampak Dari Aktivitas Pariwisata. Jurnal Ilmu Budaya, Vol. 10, No. 2.

More on this topic

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Advertisment

Popular stories