Penulis: Enriko
Selama bertahun-tahun, acap kali istilah sebagai orang kuno digunakan untuk mereka yang masih menggunakan peralatan atau teknologi yang ketinggalan jaman. Tak dipungkiri, istilah itu biasanya melekat pada orang-orang yang tinggal di pelosok, pedesaan atau jauh dari perkotaan.
Kebutuhan hidup manusia tentu berbeda-beda. Teknologi sendiri dapat dimaknai sebagai benda yang dapat mempermudah pekerjaan manusia. Awal terciptanya teknologi didasari oleh adaptasi manusia dalam pemenuhan kebutuhan manusia. Sederhananya, kebutuhan teknologi petani dan pelaut jelas berbeda. Jadi, berdasarkan kebutuhan hidup manusia yang berbeda-beda, teknologi untuk menunjang kebutuhan tersebut pun akan jelas berbeda.
Namun, pernahkah kita berpikir dan mencoba melihat lebih jauh tentang kebutuhan hidup dan teknologi penunjang yang di pakai manusia di masa lampau. Bagaimana manusia di masa lampau, hidup dengan teknologi yang tak secanggih di masa sekarang?. Apakah manusia di masa dulu juga menggunakan teknologi?. Hal tersebut dapat dilihat dari material budaya yang mereka hasilkan dari masa ke masa.
Teknologi Toala’ (Pleistosen-Holosen)
Hasil penelitian menunjukkan penggunaan teknologi telah dilakukan bahkan sejak masa prasejarah. Napak tilas eksistensi peralatan yang dimanfaatkan oleh manusia pada masa lalu, tentunya dapat menjadi edukasi kultural di masa kekinian ini.
Fenomena atau penanda yang dapat dilihat dari wujud aktivitas kehidupan manusia masa lalu di Sulawesi, dapat dilihat dari penemuan artefak batu yang terendap di DAS Walanae. Temuan artefak batu tersebut diduga menjadi alat dalam pemenuhan hidup manusia di masa itu. Selain artefak batu ditemukan juga fosil tulang anoa (Bubalus sp), gajah purba (Stegodon), dan babi purba (Celebochoerus) se-konteks (satu lapisan) dengan artefak batu tersebut yang diperkirakan berumur 118 kyr-195 kyr (masa pleistosen akhir). Masa pleistosen sendiri di ketahui kondisi permukaan bumi masih tidak stabil dikarenakan naik turunnya permukaan air laut secara ekstrim.
Namun diterpa ketidakstabilannya kondisi bumi bukankah menjadi prestasi yang membanggakan jika dapat bertahan hidup, hanya dengan menggunakan artefak batu?
Masuk masa holosen dimana kondisi permukaan bumi yang mulai stabil, kehidupan manusia di Sulawesi mulai berubah, nampak jelas terlihat pada teknologi yang digunakan.
Khususnya daerah Maros, sekitar 8000 tahun yang lalu tepatnya di situs leang jarie didapatkan bukti aktivitas manusia berupa mata panah bergerigi yang diberi nama maros point. Maros point sendiri merupakan sebuah artefak batu yang merupakan ciri atau penanda sekelompok manusia di yang banyak menghuni gua-gua di Kawasan Karst Maros/pangkep.
Sarasin bersaudara (1893) menyebut kelompok manusia tersebut dengan istilah Toala yang di adopsi dari bahasa bugis yaitu Toale’ yang bermakna “orang yang hidup di hutan”. Dalam menjalankan kehidupannya Toala masih menjalankan konsep berburu dan meramu untuk memperoleh makanan. Untuk mempermudah Kegiatan perburuannya mereka menggunakan peralatan. Oleh sebab itu manusia pada masa itu menciptakan peralatan berupa mata panah bergerigi. Hanya dengan dengan berburu dan meramu menggunakan peralatan batu kecil, Toala dapat bertahan hidup dan beranak-pinak selama ribuan tahun tahun di sekitar Kawasan maros dan pangkep.
Teknologi dari Bangsa Austronesia
Jika sebelumnya Toala banyak menghuni gua-gua Sulawesi sekitar 8000 tahun yang lalu. Berbeda dengan Austronesia yang menghuni dataran Sulawesi sekitar 4000 tahun yang lalu. Manusia ini dikenal dengan sebutan rumpun penutur bahasa Austronesia yang.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa ras Mongoloid adalah orang-orang yang menuturkan bahasa Austronesia. Ras ini diperkirakan memulai migrasinya di Taiwan sekitar 6000 tahun yang lalu.
Berbeda dengan Toala yang banyak menempati gua-gua sebagai hunian, penutur austronesia justru memilih tempat-tempat terbuka seperti perbukitan maupun dataran landai yang dekat dengan sumber air sebagai tempat hunian. Pola hunian seperti ini tentu tidak terjadi tanpa sebab. Penutur Austronesia beraktivitas di tempat terbuka dikarenakan mereka banyak melangsungkan kegiatan pertanian.
Dalam mempermudah kegiatan pertanian tentu mereka memerlukan peralatan yang memadai kebutuhan tersebut. Peralatan yang digunakan pada masa itu juga masih memanfaatkan batu. Namun berbeda dengan Toala penutur Austronesia telah mampu membuat kapak dan beliung (cangkul yg terbuat dari batu). Selain melangsungkan kegiatan pertanian, penutur Austronesia juga melakukan kegiatan domestikasi hewan (memelihara) seperti babi, ayam, anjing, dan beberapa hewan lainnya untuk memenuhi kebutuhan protein hewani.
Dapat dikatakan bahwa inovasi teknologi untuk mendukung kegiatan yang dilakukan oleh penutur bahasa austronesia merupakan hal yang baru. Namun pertanyaannya perlukah manusia sebelum masa okupasi Austronesia di Sulawesi menggunakan peralatan yang sama untuk memenuhi kebutuhan hidup?. Jawabannya tentu saja tidak perlu, pada masa okupasi manusia di soppeng dan masa okupasi toala di Kawasan karst maros/Pangkep, tanpa melakukan kegiatan domestikasi pun mereka dapat dengan mudah memperoleh makanan. Buat apa melangsungkan kegiatan bertani dan beternak jika semuanya tersedia di lingkungan hunian mereka.
*****
Jika menilik kehidupan yang terjadi pada masa sebelumnya telah menghasilkan banyak bukti teknologi dalam bertahan hidup. Adaptasi manusia tersebut menggambarkan bagaimana manusia beradaptasi sesuai lingkungannya.