Oleh: Mega Ayu Alfitri
Nalar-National Archaeology.com– Arkeologi Indonesia-Biasanya ketika kita sudah makan ayam geprek, tulangnya akan dibuang atau bahkan diberikan ke hewan peliharaan. Tingkah laku seperti ini merupakan hasil copy paste dari manusia purba yang hidup ribuan hingga jutaan tahun yang lalu. Namun, perlu diketahui bahwa sisa-sisa makanan ini bukan hanya sekedar sisa. Mengapa demikian?
Sebagai manusia, kita tidak akan pernah lepas dari makanan. Terdapat berbagai bentuk sajian makanan yang menggugah selera berseliweran memanjakan mata. Sajian makanan itu diolah dengan berbagai macam teknik, mulai dari yang mudah hingga teknik yang ribet. Untuk mempelajari teknik-teknik pengolahan makanan ini pun bisa ditemukan di berbagai platform, seperti dari buku hingga video-video tutorial.
Pengolahan Makanan Ala Koki Manusia Prasejarah
Namun, apakah kita pernah membayangkan bagaimana manusia purba mengolah makanannya? Dan teknik apa yang mereka gunakan? Kita pernah mendengar bahwa Homo Erectus adalah seorang karnivora yang hanya mengkonsumsi daging. Daging itupun kemungkinan dikonsumsi secara mentah-mentah tanpa dimasak terlebih dahulu. Walaupun di era kita hidup sekarang masih dijumpai olahan berbahan mentah, sushi misalnya. Namun setelah penemuan api oleh ulah Homo Naledi, mereka akhirnya mencicipi makanan yang lebih matang dan beraroma arang. Bahkan sisa makanan terbakar tertua yang pernah ditemukan yakni sekitar 70.000 tahun yang lalu!
Hmm.. bila dipikir-pikir, manusia pada kala itu mengolah makanannya dengan cara yang “unappetizing”. Bahan-bahan masakan mereka pun hanya berpusat pada kebutuhan protein yang tidak bervariasi dan tidak semenarik saat ini. Namun, ternyata koki prasejarah yang kita anggap masakannya tidak menggugah selera itu adalah koki yang pernah memasak tumbuhan dan bukan hanya daging. Koki ini berkaitan erat dengan evolusi kognitif manusia yang mulai pandai menciptakan alat perburuan yang memadai dan memanfaatkan sumber daya alam dengan baik. Sebut saja koki hebat itu Homo Sapiens.
Kapan Manusia Prasejarah Mengolah Makanan
Menurut Ceren Kabukcu (2022), Homo Sapiens telah mengolah makanan secara kompleks dengan menaburkan berbagai varian tumbuhan yang pahit dan beraroma kuat. Hipotesa ini didukung oleh hasil analisisnya pada gua Franchthi di Yunani yang bertarikh 13.000-11.500 tahun yang lalu dan gua Shanidar di Iran yang bertarikh 40.000 tahun yang lalu. Namun, Kabukcu meyakini si Neanderthal juga mengkonsumsi tumbuhan. Hal ini didukung oleh temuan residu tumbuhan pada gigi Neanderthal di situs Shanidar di lapisan 70.000 tahun yang lalu.
Berdasarkan temuan sisa-sisa makanan yang diduga adalah roti dan bubur dari kedua situs tersebut diolah dengan menggunakan berbagai jenis biji-bijian yang dicampur dengan kacang-kacangan. Teknik pengolahannya pun cukup effort dengan merendam biji-bijian di air hangat lalu kemudian ditumbuk atau digiling hingga hancur dan akhirnya diolah menjadi masakan. Salah satu situs Paleolitik atas yang diduga menggunakan teknik pengolahan menumbuk umbi-umbian sebelum dikonsumsi berada di wilayah Timur Eropa yakni situs Pontic Steppe. Bahkan 100.000 tahun yang lalu, Homo Sapiens sudah mengolah biji-bijian dengan cara ditumbuk terlebih dahulu.
Gambaran dalam otak kita mengenai teknik pengolahan makanan manusia purba terkesan “purba” dan tidak menarik. Ternyata, setelah ditemukan bukti-bukti arkeologis seperti yang dijabarkan sebelumnya, membuka celah lebar terkait koki-koki prasejarah yang menggunakan tumbuhan dalam pola diet mereka. Walaupun terdapat studi terbaru menunjukkan si Neanderthal di wilayah Eropa adalah top tier karnivora, hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga pernah mengkonsumsi tumbuhan.
Nah, sudah terlihat kan bahwa sisa makanan bukan hanya sekedar sisa makanan di tangan para ahli. Sisa makanan ternyata dapat memberi informasi yang sangat berguna bagi kita, bahkan hingga teknik pengolahan makanan.
Referensi
Kabukcu, Ceren. (2022). Cooking in caves: Palaeolithic carbonised plant food remains from Franchthi and Shanidar. Antiquity 2023 Vol. 97 (391): 12–28. https://doi.org/10.15184/aqy.2022.143