Tragedi “Ledakan Malam” Candi Borobudur

Related Articles

NALAR – Arkeologi Indonesia (NUR AZIZA NASIR) 21 Januari 1985 menjadi momen kelam yang terjadi pada salah satu benda cagar budaya dari zaman Dinasti Syailendra. Tragedi Ledakan Candi Borobudur terjadi pada pukul 01.30 WIB. Sembilan ledakan secara beruntun hingga pukul 03.40 WIB di area kompleks candi. Mayor Jenderal Soegiarto, Panglima Komando Daerah Militer VII/Diponegoro saat itu menjelaskan bahwa terdapat 9 dari 72 stupa di Candi Borobudur  menjadi sasaran Ledakan.

Dikutip dari Tempo.co, terdapat empat titik kerusakan kompleks Candi Borobudur dari aksi pengeboman tersebut. Tujuh stupa pada sisi timur, tiga stupa pada lantai 8, dua stupa pada lantai 9, dan empat stupa pada lantai 10.  Tragedi pengeboman tersebut kemudian ditangani oleh tim penjinak bahan peledak dari Batalyon Zeni Tempur Magelang pada pukul 05.30 WIB. Tim tersebut terdiri dari tujuh orang dan dipimpin oleh Kapten Mardjono  dan dibantu oleh dua anggota tim Jihandak Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Dari hasil penyisiran yang dilakukan, tim penjinak bom menemukan dua bom berupa Batangan dinamit yang belum meledak di teras pertama dan kedua. Secara menyeluruh terdapat 11 bom yang ingin diledakkan oleh pelaku dan diketahui bahwa bom terakhir dijadwalkan meledak pada pukul 08.00 WIB.

Pelaku Ledakan Malam Candi Borobudur

Aksi pengeboman tersebut kemudian ditindaklanjuti untuk mencari pelaku. Akan tetapi, para penyidik sedikit kewalahan dalam menemukan identitas pelaku selama proses penyelidikan. Hingga dua bulan kemudian, aparat baru mendapatkan titik terang saat terjadinya peristiwa meledaknya bus Pemudi Express. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 16 Maret 1985 merupakan insiden ledakan yang tidak disengaja. Terpicu oleh panasnya mesin dari kendaraan tersebut. Dari kejadian tersebut kemudian terungkap pelaku dari tragedi pengeboman Candi Borobudur. Yaitu Abdulkadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi. 

Angga Novian Pratam dkk dalam tulisannya menjelaskan bahwa Husein dan Ibrahim bekerja sama dalam melakukan aksi pengeboman yang dilakukan atas dasar balas dendam dan ketidakterimaan terhadap rancangan UU yang mengukuhkan Pancasila sebagai asas tunggal setiap organisasi.  Partai atau organisasi sepakat mengenai hal tersebut, tetapi organisasi atau partai berbasis agama menolak. Hal tersebut menimbulkan perdebatan terkait rancangan UU tersebut. Kekacauan politik pada akhir tahun 1984 memicu terjadinya insiden Tanjung Priok. Yaitu aksi penembakan umat islam anti-asas tunggal oleh tentara. Kejadian tersebut mengundang kemarahan yang luas, termasuk dari kalangan Ikhwanul Muslimin. 

Kemarahan yang kemudian semakin memuncak setelah melihat aksi pemerintah. Khususnya aparat keamanan yang berupaya menutupi insiden tersebut dan agar terlihat dan terkesan sebagai insiden kecil saja. Melalui konferensi pers diwakili Pangab/Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani yang menyatakan bahwa kerusuhan tersebut dapat diatasi dan menghimbau masyarakat untuk tetap waspada dan hati-hati. Dari konferensi pers tersebut, kemudian menjadikan Husein Ali Al-Habsyi  melakukan aksi terorisme yang dimulai di Gereja Sasana Budaya Politik di Malang. Aksinya dilakukan sebagai bentuk kemarahan terhadap orang Kristen yang dianggap bersekutu dengan Soeharto yang menindas umat islam. Mereka menarget pengeboman pada Candi Borobudur karena dianggap menandingi kemurnian islam, yaitu lambang pemujaan berhala. Aksi pengeboman pada Candi Borobudur juga dilakukan sebagai peringatan kepada Soeharto dan keluarganya, yang akan dibisniskan oleh Titiek Soeharto yang sudah dapat persetujuan dari Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi (Parpostel).

Sindikat Pelaku Pengeboman Candi Borobudur

Melalui proses pemeriksaan dari Abdulkadir Ali Al-Habsyi mengakui aksi tersebut sehingga sindikat-sindikat yang dikepalai oleh Achmad Muladawila mulai ikut terciduk dan ditangkap pada tanggal 19 April 1985 dalam tahanan Palaksuda 083 Malang. Sedangkan Abdulkadir Baraja dan Basirun Sinere yang juga merupakan kelompok terorisme pada tanggal 5 Mei 1985. Berdasarkan putusan pengadilan Achmad Muladawila dan Abdulkadir Ali Al-Habsyi dihukup penjara selama 20 tahun dipotong masa tahanan. Abdulkadir Baraja yang awalnya dituntut dengan tuduhan mengusahakan bahan peledak, divonis 13 tahun penjara potong masa tahanan. Sedangkan Husein diganjar hukuman penjara seumur hidup, yang sebelumnya dituntut oleh jaksa dengan hukuman mati. Mereka kemudian ditahan pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1, Lowokwaru, Malang, Jawa Timur. 

Renovasi Candi Borobudur

Tragedi “Ledakan Malam” Candi Borobudur tentu membawa kerugian bagi Indonesia. Dilaporkan sekitar 60-70% dari batu candi hanya sekitar 25% yang dapat dipakai lagi dengan jangka pengerjaan selama 3 bulan. Adapun biaya perbaikannya memakan biaya sekitar Rp. 16.500.000 yang diambil dari biaya DIP Proyek Konservasi Candi Borobudur tahun anggaran 1984\1985. Selain kerusakan secara fisik, dampak lain yang ditimbulkan dari aksi pengeboman tersebut adalah munculnya kekhawatiran masyarakat pada aksi-aksi teroris yang mungkin akan terjadi selanjutnya.

Sumber :

Pratama, Novian dkk. 2019. Sejarah Pengeboman Candi Borobudur Tahun 1985: Tinjauan Sejarah Sosial Politik di Indonesia. Journal Of Indonesian History:121-134.Semarang

https://nasional.tempo.co/read/1602538/kilas-balik-detik-detik-teror-bom-di-candi-borobudur

https://p2k.stekom.ac.id/ensiklopedia/Pengeboman_Borobudur_1985

https://elshinta.com/news/291221/2023/01/21/21-januari-1985-serangan-bom-di-candi-borobudur

https://www.kompas.com/tren/read/2022/06/09/143000365/perjalanan-candi-borobudur-pernah-jadi-sasaran-pengeboman-pada-1985?page=all

https://travel.detik.com/travel-news/d-6364350/candi-borobudur-pernah-di-bom-stupa-ada-tanda-bintang

https://voi.id/memori/28163/21-januari-dalam-sejara

More on this topic

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Advertisment

Popular stories