NALAR – Arkeologi Indonesia, Salah satu cara masyarakat Dusun Baru menghargai raihan pasca panen adalah dengan berkumpul dan membawa sesajen di Saukang Baru. Kegiatan tersebut telah menjadi rutinitas dari masyarakat setempat. Mereka berbondong-bondong datang layaknya kenduri besar-besaran yang diadakan oleh sang raja. Pesta panen masyarakat Tompobulu dilaksanakan setiap tahunnya.
“Saukang Baru”, menjadi pusat dari acara tersebut. Tempat ini terletak di sebuah area yang ditumbuhi oleh banyak pepohonan, undak-undakan yang membentuk teras, dan ratusan makam yang konon merupakan “makam tua” berdasarkan penuturan dari warga setempat.
Pesiapan Pesta Panen
Sekitar jam 10 pagi, sebagian penduduk mulai berdatangan di “Saukang Baru”. Para pedagang datang lebih awal dan mencoba peruntungan dengan menyajikan beberapa bahan jualan seperti jagung, kacang rebus, bakso bakar, dan beberapa makanan lainnya. Tentunya, hal tersebut menandakan jika tempat ini bakalan ramai dikunjungi.
Menjelang acara puncak, kami mengunjungi rumah Daeng Muing selaku ketua adat Dusun Baru. Penamaan lokal bagi orang yang menjabat sebagai ketua adat di Dusun Baru disebut sebagai pinati. Di kediaman beliau, terdapat beberapa tahapan persiapan yang dilakukan, seperti menumbuk bulir padi yang dilakukan oleh beberapa orang (tahapan tersebut disebut sebagai Dengka Baratu) dan mempersiapkan makanan (sajen).
Setelah rangkaian acara tersebut selesai, Pinati yang terlihat mengenakan seragam berwarna putih kemudian berjalan kaki dengan diiringi oleh beberapa orang menuju ke Saukang Baru. Saat tiba di lokasi, pertanda bahwa acara tersebut akan segera dimulai. Bersamaan dengan itu, terlihat khalayak ramai mulai berdatangan. Berbagai kalangan yang hadir terdiri dari anak-anak, remaja, dewasa, bahkan lansia.
Selain itu, acara ini juga mengundang perhatian para pejabat setempat. Yusriadi Arif selaku Camat Tompobulu beserta jajarannya, dan Mustakim selaku Kepala Desa Bontomanurung terlihat menghadiri langsung acara tersebut. Selain para pejabat, pesta panen ini juga dilirik oleh orang-orang luar yang datang dari berbagai wilayah. Tentunya mereka hendak memuaskan rasa penasaran tentang segala keunikan yang ada di Kecamatan Tompobulu, baik yang berkaitan dengan bentang alam maupun kearifan lokal yang masih berlangsung di wilayah tersebut.
Rangkaian Acara Pesta Panen
Dalam acara tersebut, masyarakat mulai membawa sajen ke tempat-tempat tertentu yang telah disediakan. Tempat tersebut terdiri dari bangunan berupa miniatur rumah kayu ataupun gazebo kecil. Dari ketiga tempat yang ada, masing-masing diisi oleh pinati. Satu tempat diisi oleh Daeng Muing, selebihnya diisi oleh pinati lainnya.
Sebelumnya, perlu dijelaskan jika dalam acara tersebut ternyata ada dua pinati lainnya yang memiliki fungsi tertentu. “Dua orang tersebut juga disebut sebagai pinati, tapi dua orang ini memiliki fungsi yang berbeda. Mereka secara khusus lebih bertugas mengawasi apa yang dilakukan oleh ketua adat”, pungkas Syamsir selaku Kepala Dusun Baru.
Dua orang pinati lainnya yang bertugas saat itu juga mengenakan baju yang sama dengan yang dikenakan oleh Daeng Muing selaku ketua adat. Selanjutnya, para pinati melakukan prosesi tertentu saat semua sajen telah rampung dikumpulkan. “Sebenarnya di sini ada tujuh bersaudara, cuma untuk sekarang hanya tiga yang terisi”, ucap Pak Syamsir. Dari penjelasan tersebut, Syamsir selaku Dusun Baru menjelaskan bahwa di Saukang Baru sebenarnya ada tujuh tempat tertentu. Berangkat dari cerita rakyat yang berkembang, Saukang Baru mungkin menjadi tempat bertemunya para raja atau tujuh bersaudara yang telah disebutkan.
Tradisi Ma’lanja’, Adu Betis Masyarakat Tompobulu
Sesaat setelah prosesi tersebut, acara pesta panen ditutup dengan kemeriahan tradisi Ma’lanja’ atau a’lanja’. Tradisi ini merupakan kompetisi adu betis yang dilakukan oleh satu atau dua orang. Dalam perealisasiannya, tradisi ini memiliki aturan main tersendiri. Tiap tim diberikan kesempatan untuk menguji ketahanan betis lawan. Masin-masing diberikan kesempatan sebanyak dua kali percobaan dengan menggunakan tulang kering bagian bawah. Sementara tim yang lainnya memposisikan diri sebagai tim bertahan. Posisi badan dari tim bertahan harus menghadap kebelakang, badan agak ditekuk kebawah, dan salah satu kaki diluruskan kebelakang (berfungsi untuk menahan serangan).
Tak ada kata pemenang dalam game tersebut, setelah keduanya mendapat kesempatan untuk menyerang maupun bertahan, permainan dianggap sudah selesai. Setelah itu, dilanjutkan oleh orang atau tim yang berbeda. Bukan hanya itu, orang-orang yang bermain pun tidak sembarang. Orang yang bermain adalah mereka yang sudah terbiasa dengan tradisi Ma’lanja’ tersebut.
“Berdasarkan cerita, dulu orang-orang di sini betul-betul bertarung, tapi untuk sekarang sudah diganti dengan tradisi a’lanja’”, tutur Daeng Coang. Tradisi Ma’lanja’ sebenarnya bermula dari cerita tersebut. Namun, arus perkembangan yang terus berlangsung, menjadikan tradisi ini sebagai kebiasaan untuk memperingati sekaligus hiburan bagi masyarakat setempat saat acara pesta panen.
Setelah silih berganti maju dalam permainan, baik itu dari kalangan dewasa maupun remaja. Riuhnya acara pun diakhiri oleh Daeng Muing selaku ketua adat. Dengan sedikit gelagat yang memperlihatkan bahwa acara telah selesai, secara spontan orang-orang pun langsung bergerak menuju ke rumah masing-masing. Arahan tersebut sekaligus menjadi akhir dari pesta panen masyarakat Tompobulu yang diadakan di Dusun Baru, Bontomanurung, Kecamatan Tompobulu, Maros.