Smong, Tradisi Tutur Penyelamat dari Bencana Tsunami

Related Articles

Tanah berguncang bersamaan dengan bunyi yang menggelegar, suasana khidmat seketika mencekam. Teriakan histeris di mana-mana, orang-orang panik berlari menyelamatkan diri. Rupanya gempa bertandang kala pelaksanaan ibadah shalat jumat akan dimulai. Jumat, 22 Maret 2024 pukul 11.22 WIB, amuk lindu berkekuatan M5,9 membawa duka cita bagi masyarakat wilayah Pulau Bawean, Tuban, dan sekitarnya. Ibarat luka yang ditaburi garam, tanah kembali berguncang. Gempa susulan dengan kekuatan yang lebih besar M6,5 membawa jerit tangis nan panik warga setempat. Gempa Bawean meninggalkan jejak keretakan dan kehancuran beberapa bangunan, serta mengakibatkan beberapa korban luka-luka. Tak hanya dampak secara fisik, bencana ini juga menyisakan trauma mendalam bagi para korban. 

Gempa bumi yang terjadi di Jawa Timur tersebut adalah satu dari sekian banyak kejadian gempa di Indonesia. Kejadian ini kembali mengingatkan kita pada sebuah kenyataan bahwa Indonesia rawan terhadap bencana gempa bumi.

Indonesia, Negara Rawan Bencana

Indonesia merupakan negara yang memiliki catatan sejarah kegempaan yang panjang. Dede Mulyanto1 menjelaskan bahwa sejak kemerdekaan, ada 23 kejadian gempa bumi yang merenggut mulai dari 5 jiwa hingga 130 ribu korban jiwa, dan 9 di antaranya tercatat sebagai gempa terdahsyat dari 39 gempa terdahsyat di dunia sepanjang abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Rekaman sejarah tersebut menunjukkan bahwa bencana gempa bumi bukanlah pengalaman baru bagi Indonesia. Dengan demikian, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia adalah negeri yang selalu berhadapan dengan ragam ancaman bencana, seperti gempa bumi dan tsunami.

Posisi geologis Indonesia menjadi penyebab utama negara kita rawan bencana. Indonesia berada pada pertemuan tiga lempeng litosferik besar, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo-Australia. Lempeng Indo-Australia bertumbukan dengan Lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa, dan Nusa Tenggara. Adapun Lempeng Pasifik bertumbukan dengan Lempeng Eurasia di bagian utara Papua dan Maluku. Gaya interaksi antarlempeng tersebut senantiasa menekan dan menggeser berbagai patahan yang tersebar di seluruh bagian Indonesia, baik di daratan maupun di dasar lautan. Lempeng-lempeng tersebut bergerak dinamis, ada yang saling menjauh, mendekat, bahkan bertumbuk. Lalu, Apa yang terjadi jika lempeng tersebut bergerak dan saling bertubrukan? Bumi akan bergerak, dan itulah yang disebut dengan gempa bumi.

Salah satu gempa bumi yang membekas dalam ingatan masyarakat Indonesia bahkan dunia adalah Gempa Aceh 2004. Gempa bermagnitudo 9,1 itu lahir dari pergerakan lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia2. Akibatnya, gempa tersebut menciptakan gelombang tsunami dengan tinggi mencapai 30 m. PBB menyebut Tsunami Aceh sebagai salah satu bencana kemanusiaan terbesar dalam sejarah. Bagaimana tidak, bencana ini menelan 230.000 jiwa dari 16 negara terdampak, dan Indonesia sebagai negara dengan dampak paling parah. Luputnya sistem peringatan dini di wilayah terdampak menjadi salah satu penyebab banyaknya korban jiwa. Akan tetapi, berbeda dengan Pulau Simeulue yang memiliki sistem peringatan dini berbasis kearifan lokal yang disebut dengan Smong.

Kisah Smong Menyelamatkan Ribuan Jiwa di Pulau Smeulue

Kisah Smong lahir setelah masyarakat Simeulue berhadapan langsung dengan gempa dan tsunami pada tahun 1907 silam. Pada saat itu, gempa dan tsunami yang dahsyat melanda Simeulue. Akan tetapi, masyarakat belum memiliki pengetahuan dan pengalaman menghadapi gempa dan tsunami seperti itu. Menurut legenda, korban jiwa mencapai 70% dari seluruh populasi Simeulue, banyak di antaranya ditemukan di atas puncak pohon kelapa yang tingginya lebih dari 10 m3. Tragedi tersebut menjadi sejarah yang tak terlupakan bagi masyarakat Simeulue.

Masyarakat yang memiliki ikatan sejarah dengan bahaya alam akan melahirkan suatu residu kebudayaan bencana. Apabila residu ini terpelihara, komuniti tersebut memiliki apa yang disebut ‘subkebudayaan bencana’ (Moore, 1964), atau malah suatu ‘kebudayaan bencana’ (Bankoff, 2003) apabila pengalaman-pengalaman serupa terjadi berulang kali sehingga meresapi kebudayaan komuniti secara umum4. Sama halnya dengan masyarakat Simeulue yang memiliki sejarah panjang dengan gempa dan tsunami. Nenek moyang masyarakat Simeulue kemudian memutuskan untuk melestarikan Smong sebagai pembelajaran untuk menafsirkan fenomena alam dan melakukan upaya mitigasi.

Nandong, Dendang Petuah dalam Alunan Lagu Pengantar Tidur

Kisah Smong dilestarikan melalui beragam cara, salah satunya melalui Nandong (puisi dan lagu tradisional). Nandong menjadi lagu pengantar tidur bagi anak-anak sehingga menjadi memori kolektif bagi masyarakat Simeulue5

Enggel mon sao curito (Tolong dengarkan cerita ini)
Inang maso semonan (Suatu hari di masa lalu)
Manoknop sao fano (Sebuah desa sedang tenggelam)
Uwi lah da sesewan (Itu yang dikatakan)

Unen ne alek linon (Dimulai dengan gempa bumi)
Fesang bakat ne mali (Diikuti oleh gelombang raksasa)
Manoknop sao hampong (Seluruh negeri tenggelam)
Tibo-tibo mawi (Dengan seketika)

Anga linon ne mali (Jika gempa kuat itu)
Uwek suruik sahuli (Diikuti dengan penurunan air laut)
Maheya mihawali (Silakan segera mencari)
Fano me singa tenggi (Tempat yang lebih tinggi)

Ede smong kahanne (Ini disebut Smong)
Turiang da nenekta (Kisah leluhur kita)
Miredem teher ere (Harap selalu ingat)
Pesan dan nafi da (Pesan dan nasihat ini)

Smong dumek-dumek mo (Smong adalah air mandimu)
Linon uwak-uwakmo (Gempa bumi adalah tempat tidur ayunanmu)
Elaik keudang-kedangmo (Badai petir adalah musikmu)
Kilek suluh-suluhmo (Halilintar adalah lampumu)

Smong dan Tsunami Aceh 2004

Pesan dan nasihat nenek moyang melalui tradisi tutur Smong telah terintegrasi dengan kehidupan masyarakat Simeulue, dan menyelamatkan ribuan jiwa di pulau tersebut pada peristiwa tsunami 2004 lalu. Berdasarkan penelitian McAdoo dkk. (2006)6, kisah Smong menjadi bekal masyarakat Simeulue dalam mengambil tindakan setelah gempa terjadi. Dalam temuannya, McAdoo menceritakan aksi tanggap bencana yang dilakukan masyarakat di Desa Langi, Kabupaten Simeulue. Jarak Langi dengan pusat gempa hanya 40 km. Setelah gempa terjadi, masyarakat seketika berlarian menuju dataran tinggi. Mereka hanya memiliki waktu 8 menit sebelum tsunami menghantam tempat tinggalnya. Akibat dari tsunami tersebut, Desa Langi rata dengan tanah. Meskipun demikian, 800 jiwa yang ada di Desa Langi tersebut selamat dari hantaman tsunami.

***

Sejarah kebencanaan di Indonesia mengingatkan kita bahwa Indonesia adalah negara yang rawan akan bencana. Bencana bukan lagi pengalaman baru bagi kita. Meskipun demikian, kita memiliki bekal berupa kekayaan budaya untuk bertahan terhadap bahaya alam, seperti tradisi tutur Smong penyelamat dari tsunami. Berkaca dari peristiwa Tsunami Aceh 2004 tersebut, masih banyak budaya-budaya yang perlu direvitalisasi agar menjadi bekal kita dalam rangka mewujudkan cita-cita masyarakat tangguh bencana.


  1. Dede Mulyanto, (PDF) Bencana alam: Suatu tinjauan antropologis dengan Kekhususan Kasus-kasus di Indonesia (researchgate.net) ↩︎
  2. buku_aceh_pasca_lima_belas_tahun_tsunami1.pdf (acehprov.go.id) ↩︎
  3. Dede Mulyanto, (PDF) Bencana alam: Suatu tinjauan antropologis dengan Kekhususan Kasus-kasus di Indonesia (researchgate.net) ↩︎
  4. McAdoo dkk., (PDF) Smong: How an Oral History Saved Thousands on Indonesia’s Simeulue Island during the December 2004 and March 2005 Tsunamis (researchgate.net) ↩︎
  5. Syafwina, Recognizing Indigenous Knowledge for Disaster Management: Smong, Early Warning System from Simeulue Island, Aceh – ScienceDirect ↩︎
  6. McAdoo dkk., (PDF) Smong: How an Oral History Saved Thousands on Indonesia’s Simeulue Island during the December 2004 and March 2005 Tsunamis (researchgate.net) ↩︎

More on this topic

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Advertisment

Popular stories