Nalar – Arkeologi Indonesia – Berawal dari celetukan yang muncul di tongkrongan, tetiba muncul pertanyaan. “Siapakah manusia pertama?” tanya salah seorang kawan. Beberapa kawan lainnya yang turut andil dalam diskusi nampak heran dengan pertanyaan yang dilontarkan. Tak menampik hal tersebut, mereka yang nampak heran tentu beranggapan bahwa hal itu sudah tidak elok dipertanyakan lagi. Namun, salah seorang lainnya sontak menjawab dengan lantang, “Adamlah”. Namun, jika ditinjau secara sains, apakah jawaban tersebut sudah mutlak? Mari kita simak lebih jauh.
Setiap umat beragama pasti telah meyakini pencipta-Nya dan selalu berpedoman pada kitab suci. Oleh karena itu, apa yang diyakini tidak bisa diganggu gugat. Tulisan ini tidak bermaksud mendistorsi konsep kepercayaan yang telah diyakini. Akan tetapi, ketika kita mempertanyakan mengenai manusia pertama yang hadir di muka bumi ini, tentu kita sudah tahu. Namun, bagaimana dengan temuan-temuan tentang Homo Erectus, Homo Neandhertal, dan Homo Sapiens yang juga tak asing di telinga? Perlukah kita mengabaikannya? Atau perlu dipahami dalam konteks tertentu?
Manusia Antara Ilmu Arkeologi & Agama
Salah satu disiplin ilmu yang membahas terkait asal-usul peradaban dan jejak hadirnya manusia awal ialah Ilmu Arkeologi. Berbagai kajian dan hasil penelitian yang dilakukan kian mengarahkan kacamata kita untuk mempelajari lebih jauh. Hasil penelitian menunjukan bahwa sekitar satu atau dua juta tahun yang lalu. Telah ditemukan kerangka manusia yang disebut sebagai “Homo Erectus” (Widianto, 2006). Jenis spesies tersebut diketahui pertama kali berasal dari Afrika. Berdasarkan cirinya, spesies ini sangat berbeda dengan manusia. Sekarang dan kerap disebut sebagai spesies yang berada pada masa transisi menuju manusia modern awal.
Seiring dengan berjalannya waktu, kerangka manusia lainnya kembali ditemukan. Namun, kali ini terdapat perbedaan dari segi ciri fisik dibanding kerangka manusia sebelumnya. Para arkeolog menyebutnya sebagai “Homo Neanderthal”. Spesies ini pertama kali ditemukan di Eropa, tepatnya di Lembah Neanderthal, Jerman. Burnie dalam jurnal yang berjudul “Eksistensi Homo Neandertal dan Homo Sapiens Sapiens dalam Perspektif Sains dan Al-Qur’an” oleh Santosa (2020).
Begitupun dalam pengamatan secara fisik menunjukkan bahwa spesies tersebut hampir mirip dengan manusia modern awal. Akan tetapi, kedudukannya dalam evolusi terbilang masih menuai pro dan kontra. Sehingga Caramelli et.al (2003), menempatkannya di tengah-tengah, yakni antara manusia paling awal (sejajar dengan Homo Erectus). Atau manusia modern awal sebagai cikal bakal manusia yang sama seperti saat ini. Umur dari spesies tersebut ialah kisaran 400.000–30.000 tahun yang lalu (Hassan, Ferrial, & Soekendarsi, 2014),.
Masih di belahan bumi Eropa, di Gua Denisova, Siberia, Rusia. Lokasi tersebut merupakan lokasi awal kerangka manusia dengan sebutan “Homo Denisovan” ditemukan. Brown et.al (2022), menyebutkan bahwa spesies ini hampir sama dengan Homo Neanderthal, dan berumur sekitar 200.000 tahun yang lalu. Berdasarkan hasil riset DNA, diketahui bahwa spesies tersebut tersebar di beberapa wilayah, misalnya di Asia dan Australia.
Homo Sapiens dan Kitab Suci
Kerangka manusia selanjutnya yang seringkali disebut sebagai manusia modern ialah “Homo Sapiens”. Homo Sapiens adalah spesies yang hidup sekitar 40.000–10.000 tahun yang lalu. Harari (2011) dalam bukunya, menyebutkan bahwa spesies ini memiliki kemampuan adaptasi yang apik dan sangat cerdas. Hal tersebut dibuktikan dari pola hidup hingga teknologi yang dihasilkan.
Seperti yang telah diuraikan, diketahui bahwa dalam sudut pandang ilmu pengetahuan, penemuan-penemuan spektakuler terkait kerangka manusia menjadi euforia tersendiri. Fakta dan data yang diperoleh, tentu tidak bisa diabaikan.
Namun, ketika dihadapkan dengan keyakinan tiap orang yang mengacu pada kitab suci, sepertinya akan menuai kontradiktif. Oleh karena itu, perlu dipahami bahwa hasil riset yang dilakukan tidak diperuntukkan untuk membantah dogma agama. Melainkan, kehadiran manusia yang lebih awal berdasarkan hasil penelitian menjadi pengetahuan tersendiri. Dan memahami bahwa ada perbedaan maupun persamaan tertentu antara ilmu pengetahuan dan agama.
Referensi
Brown, S., Massilani, D., Kozlikin , M. B., Shunkov, M. V., Derevianko, A. P., Stoessel, A., et al. (2022 , January). The Earliest Denisovans and Their Cultural. Nature Ecology & Evolution VOL 6 , pp. 28–35.
Harari, Y. N. (2011). Sapiens. Jakarta: Pustaka Alvabet.
Hassan, M. S., Ferrial, E. W., & Soekendarsi, E. (2014). Pengantar Biologi Evolusi. Jakarta: Erlangga.
Santosa, T. A. (2020, Oktobe 20). Eksistensi Homo Neandertal dan Homo Sapiens Sapiens dalam Perspektif Sains dan Al-Qur’an. Journal of Islamic Civilization. Volume 2, No. 2 , pp. 108-115.
Widianto, H. (2006, November 2). Dari Pithecanthropus Ke Homo Erectus: Situs, Stratigrafi, dan Pertanggalan Temuan Fosil Manusia di Indonesia. Berkala Arkeologi , pp. 114-129.