NALAR – National Archaeology, Pernahkah anda berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain?. Jika pernah, pastinya kerap kali kita merasakan sensasi yang berbeda. Sebagai contoh, misalnya kita baru saja pindah rumah atau tempat tinggal. Biasanya, terdapat hal-hal tertentu yang cuma didapatkan di tempat sebelumnya. Entah itu berkaitan dengan lingkungan, perabot rumah tangga, makanan, dan berbagai hal lainnya. Maka dari itu, semestinya perlu proses untuk menerima kondisi tersebut.
Dalam kehidupan yang terus bergerak ini, manusia sebagai makhluk hidup punya kemampuan tersendiri dalam menghadapinya. Mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru dan cenderung memanfaatkan sesuatu yang ada di sekitarnya. Inilah yang kemudian lazim dikenal dengan sebutan ” Adaptasi”. Namun secara umum, adaptasi sendiri merupakan bentuk penyesuaian seseorang. Baik itu terhadap nilai, norma, dan tingkah laku yang sering dilakukan oleh dua budaya atau lebih (Liliweri, 2005)
Pemanfaatan Sumber Daya Alam
Memang tatkala berbicara soal adaptasi, tentunya memiliki arti yang cukup luas. Namun dalam lingkup penjelasan mengenai kehidupan ribuan tahun silam. Bentuk adaptasi yang dilakukan oleh manusia lebih mengarah ke faktor alam atau lingkungan. Manusia kala itu lebih banyak memanfaatkan sumber daya alam di sekitarnya. Mereka hidup di lingkungan yang dekat dengan mata air dan menghuni gua-gua sebagai rumah di masa itu (Widodo, 2005). Oleh karena itu, dalam beberapa penelitian yang berusaha mengungkap kehidupan masyarakat berburu dan mengumpulkan makanan. Beberapa produk peralatan sangat sering didapatkan yaitu berupa peralatan dari batu.
Alat yang terbuat dari batu atau dikenal dengan sebutan artefak litik (artefak batu). Sekiranya menjadi teknologi yang khas bagi masyarakat yang hidup dimasa prasejarah. Bahkan yang lebih mencengangkan teknologi ini telah tersebar di beberapa wilayah. Salah satu yang khas ialah mata panah atau Maros Point. Beberapa bentuk serpihan lainnya yang dapat dijumpai di Kepulauan Asia Tenggara tepatnya di Sulawesi Selatan. Konon, produk tersebut merupakan karya yang dibuat oleh masyarakat pribumi yang menghuni wilayah tersebut. Belwood, 2007 dalam jurnalnya dengan sebutan “Toalean” .
Baru-baru ini hasil penelitian terbaru menunjukkan bahwa terdapat proses adaptasi dari segi teknologi. Adaptasi itu dilakukan oleh masyarakat pribumi (Toalean) yang menghuni gua-gua di dataran tinggi maupun di dataran rendah. Lokasinya berada di daerah Maros, tepatnya di Leang Jarie dan Bone (Bontocani) di situs Cappalombo 1. Memang jika dilihat kondisi topografinya, kedua wilayah tersebut memiliki perbedaan. Leang Jarie berada di dataran rendah dengan ketinggian 34 mdpl. Sedangkan Cappalombo 1 berada di dataran tinggi dengan ketinggian 620 mdpl.
Alat Batu Toala
Sebelumnya, perlu diketahui bahwa masifnya penelitian mengenai budaya Toala (Toalean) di Sulawesi. Perlahan mulai menyingkap tirai kehidupan yang berlangsung sekitar 8.000 tahun yang lalu. Apalagi isu yang cukup sering dijamah ialah produk budaya dari Toalean berupa teknologi alat batu. Menariknya, hasil karya tersebut banyak ditemukan di beberapa lokasi. Beberapa daerah seperti Kawasan Karst Maros-Pangkep, Kawasan Batu Ejayya di Bantaeng, dan Kawasan Karst Bontocani, Kabupaten Bone. Tentunya hal tersebut menunjukkan bahwa budaya Toalean pernah menjajaki beberapa wilayah di Sulawesi.
Meski telah banyak penelitian mengenai alat batu, akan tetapi studi perbandingan sampai sejauh ini masih jarang dilakukan. Terakhir kali studi perbandingan alat batu di lakukan di Kawasan Karst Maros-Pangkep, tepatnya di Leang Burung 1 dan Leang Karrasa. Namun, penelitian tersebut dinilai masih belum representatif dan cakupannya masih sangat sempit. Sedangkan data terbaru menunjukkan bahwa Toalean tidak hanya menghuni wilayah di dataran rendah. Tetapi juga menghuni wilayah dataran tinggi (Kawasan Karst Bontocani).
Sumber Bahan Artefak Batu
Dalam tulisannya Suryatman, et al., 2022 yang terbit di jurnal Berkala Arkeologi Vol. 42 No. 2 menjelaskan detail. Suryatman menjelaskan bahwa terdapat bentuk penyesuaian mengenai sumber bahan. Pembuatan alat batu di kedua situs (Leang Jarie dan Cappalombo 1) dan alat yang dihasilkan juga menunjukkan perbedaan. Baik dari segi bahan, teknik pengerjaan, dan bentuk yang dihasilkan. Guna melihat hal tersebut, metode yang digunakan diantaranya klasifikasi sampel alat batu.
Berdasarkan kategori tertentu yang terdiri dari serpih utuh, fragmen serpih, puing serpih, batu inti, serpih diretus, dan serpih yang digunakan. Selain itu, metode lainnya yaitu analisis morfometrik untuk data ukuran. Metode Principal Component Analysis (PCA) untuk tampilan grafik/diagram. Analisis perbandingan dengan menggunakan software R Studio. Sedangkan survei sumber bahan yang dilanjutkan dengan analisis menggunakan metode X-Ray Fluorecence.
Teknologi Artefak Batu dari Dua Situs
Lebih lanjut, dari pengamatan yang telah dilakukan, dapat dilihat perbedaan karakteristik teknologi alat batu yang dihasilkan dari kedua situs. Penyebabnya ialah berawal dari perbedaan bahan baku dalam pembuatan alat batu. Situs Cappalombo 1 menunjukkan sumber bahan yang mudah retak sehingga alat yang dihasilkan cenderung lebih kecil. Sementara di situs Leang Jarie memiliki sumber bahan yang lebih bagus. Sehingga alat yang dihasilkan oleh “sipembuat” lebih besar, utuh, dan memiliki ukuran yang beragam. Jelas Suryatman dalam tulisannya.
Selain itu, kualitas sumber bahan yang terdapat di setiap situs juga mempengaruhi tata cara dalam proses pembuatan alat batu. Semisal di Situs Cappalombo 1 lebih sering menggunakan teknik bipolar. Teknik ini pada dasarnya lebih cocok digunakan pada sumber bahan (batu inti) yang lebih kecil. Sedangkan di Leang Jarie lebih sering menggunakan teknik pukul langsung. Teknik ini memiliki pola pemangkasan yang searah, dan pemangkasan dua sisi (bifasial). Akibatnya teknologi yang tercipta memiliki kecenderungannya masing-masing. Terlihat dari serpih utuh yang lebih banyak di Leang Jarie. Sedangkan puing serpih di Cappalombo 1, dan beberapa kategori lainnya yang memiliki perbedaan tertentu di setiap situs.
Data tambahan lainnya yaitu terkait sumber bahan yang terdapat di sekitar Situs Cappalombo 1 dengan kualitas yang kurang baik. Hal inilah yang mengharuskan orang-orang yang bermukim di situs tersebut memanfaatkan bahan lain (bukan hanya chert). Bahan tersebut berupa hematit dan batuan vulkanik. Berbeda dengan Leang Jarie yang hanya memanfaatkan batuan chert dalam pembuatan alat batu.
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat adanya bentuk adaptasi dari proses pembuatan alat batu di kedua situs. Terlebih, hasil penelitian ini sekaligus menggambarkan bahwa lingkungan menjadi salah satu faktornya. Faktor itu juga yang mempengaruhi perilaku hidup manusia yang bermukim di wiliayah tersebut.