Arkeologi Indonesia – “Kelaparan, wabah, dan perang selalu berada di puncak daftar… hingga akhir dunia, kita mungkin tidak akan pernah terbebas dari kenyataan pahit ini.” Dengan kata-kata ini, Yuval Noah Harari membuka jendela dunia dalam novelnya yang berjudul “Homo Deus”. Harari dengan tajam menggambarkan realitas kemanusiaan yang tak pernah lepas dari perang. Hampir setiap hari, kita dihadapkan pada berita-berita tentang konflik, perseteruan, dan perang yang terus berkecamuk. Dan saat kita memalingkan wajah ke lampau, sejarah mencatat salah satu perang paling terhebat dalam sejarah dunia terjadi di Nusantara. Adalah perang antara Kerajaan Gowa-Tallo melawan VOC yang terjadi sekitar 400 tahun yang lalu. Perang yang diakhiri kedua pihak dengan Perjanjian Bungaya 18 November 1667.
Kedatangan Awal VOC di Kerajaan Gowa Tallo
Berdasarkan beberapa catatan yang ada, pendaratan perdana VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) dilakukan pada tahun 1607. Pelayaran perdana tersebut dibawah komando dari Laksamana Cornelis Matelieff. Mereka berlabuh di sekitar pantai selatan Sulawesi, dekat Kampong Tanahkeke. Tujuan mereka sebenarnya ialah tanah Maluku yang masih jauh di timur. Cornelis Matelieff kemudian mengutus dua orang kepercayaannya yakni Paulus van Dolt dan Jacques Hermite. Mereka berdua diminta untuk melakukan negosiasi dengan Kerajaan Gowa.
Kedatangan ini terjadi saat Kerajaan Gowa berada pada pemerintahan Sultan Alauddin. Awal mulanya, hubungan yang terbangun ialah hubungan dagang. Bukan tanpa alasan kedatangan mereka di pelabuhan-pelabuhan Gowa. Geliat ekonomi di kerajaan tersebut tumbuh luar biasa dan menjadi area perdagangan bangsa asing seperti Portugis. Pada saat itulah, pelabuhan mereka menjadi lokasi atau tempat transit dan pemasaran rempah-rempah dunia.
Seiring berjalannya waktu, setelah mereka diizinkan melakukan aktivitas perdagangan, VOC kemudian mengajukan beberapa tuntutan. Sayangnya, upaya negosiasi VOC dengan Kerajaan Gowa tidak berhasil. Terdapat dua permintaan yang tidak bisa dikabulkan. Pertama untuk menghentikan pasokan beras bagi pasukan Portugis di Selat Malaka. Kedua permintaan untuk pembukaan pelabuhan bagi VOC. Gowa memiliki kepentingan ekonomi sendiri dan tidak ingin mengikuti instruksi VOC yang mungkin merugikan mereka. Bentuk tuntutan mereka dilihat sebagai upaya untuk menguasai jalur perdagangan di daerah Indonesia Timur.
Lambat laun, mereka menguasai dan bahkan memonopoli perdagangan di wilayah tersebut. Kawan dagang seperti Spanyol dan Portugis diusir dari Maluku. Salah satu cara untuk menghilangkan kekuatan Gowa ialah melakukan blokade ekonomi. Mereka tidak mengizinkan perahu-perahu dagang orang Gowa-Tallo berada di dekat perairan Ambon.
Perlawanan Rakyat Kerajaan Gowa Tallo
Rangkaian upaya tersebut menjadi sumbu amarah bagi Kerajaan Gowa. Mereka lalu melakukan konfrontasi terbuka terhadap VOC atau kompeni. Terjadi beberapa kali peperangan antara Gowa-Tallo dan VOC dibawah pemerintahan Sultan Hasanuddin.
Dua peperangan yang terjadi pada tahun 1633 dan 1654 masih menjadi milik Makassar. Dua peperangan tersebut memberikan kegagalan yang besar bagi mereka. VOC kembali mundur untuk menyusun strategi yang lebih matang untuk menyiapkan penaklukan. Pada pertempuran selanjutnya, mereka memanfaatkan situasi politik dengan membangun aliansi Kerajaan Bone.
Perang tersebut merupakan salah satu terhebat di era tersebut. Kekuatan laut Gowa-Tallo menghadapi perlawanan dari VOC yang dipimpin oleh Speelman di Pelabuhan Gowa-Tallo. Diwaktu yang bersamaan, Pasukan Bone yang dipimpin oleh Aru Palakka membumihanguskan wilayah Bantaeng yang menjadi lumbung pangan Gowa-Tallo. Dilanjutkan dengan penyerbuan ke arah pasukan Gowa-Tallo. Episode akhir dari perang ketiga ini menjadi kekalahan bagi pasukan Gowa-Tallo.
Perjanjian Bungaya
Kekalahan pada perang ketiga ini menjadi titik balik runtuhnya kejayaan Gowa-Tallo. Penyebab terbesarnya adalah kesuksesan dari strategi politik Devide et Impera atau politik adu domba. Sultan Hasanuddin kemudian terpaksa menandatangani perjanjian Bungaya yang berlangsung pada tanggal 18 November 1667.
Terdapat 29 pasal yang menjadi perjanjian dua pihak. Ada enam poin utama yang ditekankan pada perjanjian tersebut. Pertama, Gowa-Tallo dipaksa mengakui monopoli perdagangan VOC. Wilayah kekuasaan Gowa-Tallo harus dibebaskan seperti tanah Bugis, Luwu maupun wilayah lainnya. Selain itu, Gowa-Tallo diharuskan membayar ganti rugi akibat konflik. Sultan Hasanuddin mungkin dipaksa mengakui Arung Palakka sebagai Raja Bone, dan Gowa hanya membuka diri bagi VOC sementara orang asing lainnya dilarang. Selain itu, beberapa benteng di wilayah tersebut harus dihancurkan, kecuali Benteng Rotterdam untuk VOC dan Benteng Somba Opu untuk Kerajaan Gowa-Tallo.
Setahun berselang, terjadi penyerangan kembali oleh Kerajaan Gowa-Tallo dipimpin langsung oleh Sultan Hasanuddin. Akibatnya muncul kembali peperangan dengan aliansi serupa. Namun, perlawanan tersebut mampu dipadamkan lagi, dan Benteng Somba Opu diluluhlantakkan.
Jejak Jejak yang Tersisa di Kerajaan Gowa Tallo
Benteng Fort Rotterdam merupakan satu-satunya benteng yang masih “berdiri kokoh” pasca perjanjian bungaya. Pada awalnya, benteng ini dibangun oleh kerajaan Gowa-Tallo dengan nama Benteng Ujung Pandang. Namun, kekalahan mereka menyebabkan benteng ini diserahkan kepada VOC. Speelman yang merupakan komandan mereka saat itu kemudian mengganti namanya menjadi Fort Rotterdam sesuai kota kelahirannya.
Berbeda dengan Benteng Ujung Pandang, benteng-benteng lainnya kemudian dihancurkan. Memang, sebelum meletusnya perang ada total 14 benteng yang dimiliki oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Benteng-Benteng diantaranya adalah Benteng Tallo, Ujung Tanah, Mariso, Bonto Marannu, Pannakukang, Barombong, Kale Gowa, Ana Gowa, Garassi, Bayoa, Galesong, Somba Opu dan Ujung Pandang.
Beberapa benteng saat ini telah kehilangan jejaknya seperti Benteng Pannakukang yang telah rata dengan pemukiman. Lain halnya dengan Benteng Tallo yang telah dikepung oleh kawasan pengembangan industri. Bahkan empat benteng telah lenyap sejak medio 2000-an yakni Benteng Mariso, Benteng Bonto Marannu, Benteng Ujung Tanah, dan Benteng Bayoa. Beberapa benteng lainnya sebetulnya masih bisa dijumpai jejak strukturnya, seperti Benteng Ana Gowa. Namun, kondisi kedua Benteng tersebut cukup memprihatinkan. Bukan tidak mungkin sisa-sisa benteng akan hilang dari tanah Gowa-Tallo.
* * *
Akhir dari kekuasaan Makassar ditandai dengan kehancuran sebagian besar benteng-benteng Gowa-Tallo, sementara Benteng Fort Rotterdam tetap berdiri sebagai simbol perubahan kekuasaan. Benteng-benteng lainnya terlantar dan hilang seiring berjalannya waktu. Situs sejarah ini akan menjadi saksi bisu dari perang akbar antara VOC dan Kerajaan Gowa Tallo yang berakhir di perjanjian bongaya.